Siti Hairul Dayah tinggal di Yogya, menulis di FB setelah suaminya ditangkap Densus 88 pada saat hendak berangkat salat ke masjid, Jumat, 2 April 2021, bersama anaknya. Rumahnya juga digeledah. Buku-buku dan barang diambil polisi.
Setelah penggeledahan, ada tetangganya yang enak saja mengambili pot-pot bunga mawar di halaman rumahnya. Tetangga ini mengira setelah Densus 88 mengambili barang, mereka juga merasa berhak mengangkuti barang lainnya.
Setelah tiga hari Siti Hairul Dayah membaca berita. Hampir semua berita ditambahi. Dibilang dia bercadar dan sangat tertutup. Padahal dia tidak bercadar. Juga memiliki pergaulan luas. Teman-temannya beragam. Bahkan sehari setelah suaminya ditangkap banyak teman blogger datang berkunjung.
Stigmatisasi teroris. Itulah yang telah diberikan oleh Densus 88 kepada keluarganya. Padahal belum tentu benar seperti itu keadaan sebenarnya. Berita yang tersebar menjadi bias. Bahkan hoax.
Dari kasus ini benarlah kata Rocky Gerung. Produsen hoax terbesar itu justru penguasa.
Suami Siti Hairul dicurigai karena sering mengirimkan bantuan ke Palestina dan Suriah. Perpustakaannya yang ada koleksi buku-buku agama juga dicurigai indikasi radikalisme.
Stigmatisasi polisi ini lantas disampaikan kepada media massa. Tanpa verifikasi, media massa langsung menuliskan beritanya. Stigmatisasi teroris itu pun makin menyebar luas. Hingga membuat tetangga Siti Hairul berbuat sesukanya.
Itulah bahaya stigmatisasi yang dibuat penguasa. Begitu mudahnya melabeli rakyat. Saat Humas Polda DIY berkunjung ke rumahnya, polisi Humas ini meminta Siti Hairul bersabar, selektif bergaul dan membaca. Nah, urusan bergaul dan hobi membaca pun jadi indikasi terorisme.
Dianggap Wajar
Hegemoni kekuasaan menjadi berbahaya bagi rakyat kalau dia dianggap musuh. Menurut Hill dan Fenner, kuasa hegemoni bisa diterapkan melalui proses produksi dan konsumsi wacana. Di ranah opini publik, penamaan dan penjulukan terhadap orang atau kelompok tertentu bisa dianggap ’praktik wajar hegemoni’.
Penangkapan seseorang seenaknya dan penggeledahan rumah begitu enteng dilakukan tanpa merasa bersalah karena praktik kewajaran dalam kuasa hegemoni itu. Inilah bahaya stigmatisasi.