Taiwan. Sonaindonesia.com – Bocah bernama Huang berusia 7 tahun di taiwan dilaporkan meninggal dunia akibat dibanting 27 kali dalam kelas judo.
Pada April, dia menderita pendarahan otak parah ketika dalam kelas, dia dijadikan obyek latihan pelatih dan teman-temannya. Anak yang tidak disebutkan itu kemudian koma dan harus mendapat bantuan pernapasan sebelum dinyatakan meninggal.
Media Taiwan memberitakan, orangtua bocah tujuh tahun itu memutuskan mencabut alat penopang hidupnya setelah dirawat selama 70 hari. Pelatih judo, berumur sekitar 60-an, ditangkap dan dijerat pasal penyerangan fisik yang membuat seseorang terluka.
Selain itu diwartakan Taipei Times, si pelatih juga dituding menggunakan anak kecil untuk berbuat kejahatan. Si pelatih yang disebut bermarga Ho itu dibebaskan setelah membayar jaminan 100.000 dollar Taiwan (Rp 52 juta).
Baca Juga:
- Perancis Tersingkir, Kylian Mbappe Akui Sulit Tidur Usai Gagal Penalti
- Temui Mendagri, Apkasi Laporkan Persiapan Munas V 2021 di Jakarta
- Sempat Memanas, Akhirnya Joko Pitoyo Nakhodai Askab PSSI Gunungkidul Melalui Voting
Awalnya, korban datang ke kelas judo pada 21 April ditemani pamannya, yang merekam kejadian brutal tersebut. Dilansir BBC Rabu (30/6), video menunjukkan anak kecil itu dibanting beberapa kali oleh para seniornya. Dia sempat terdengar berteriak. Namun, pelatihnya berteriak menyuruhnya untuk berdiri dan melanjutkan latihan. Pada akhirnya, pelatih Ho membantunya berdiri sebelum membantingnya.
Bocah tersebut pada akhirnya pingsan. Saat itu, keluarga korban mengungkapkan Ho memberi tahu mereka bahwa korban berpura-pura tidak sadar.
Saat video itu beredar, terdapat pertanyaan mengapa paman korban tidak sampai mengintervensi keponakannya.
Namun pakar menyatakan, terdapat budaya hormat, di mana mereka menerima otoritas pelatih apa pun yang terjadi. Kepada awak media lokal, Ibu korban mengaku histeris dengan kejadian yang menimpa putranya. Apalagi diketahui Ho tak punya lisensi melatih.
Pada Selasa (29/6) pukul 21.00 waktu setempat, Rumah Sakit Fengyuan mengumumkan tekanan darah dan denyut jantung korban menurun.
Setelah berbicara dengan keluarga korban, para dokter memutuskan untuk mencabut alat penopang hidupnya. (dilansir dari BBC-Bimantara-SonaIndonesia)