Oleh: Malika Dwi Ana
Dalam teori komunikasi politik, defleksi (agenda deflection) merupakan mekanisme deliberatif untuk menggeser pusat gravitasi wacana publik dari isu yang mengancam legitimasi penguasa menuju narasi yang memperkuat citra dan modal simboliknya. Praktik ini bukanlah kebetulan taktis, melainkan strategi sistematis yang berulang, terukur, dan terbukti efektif dalam mempertahankan hegemoni pasca-kekuasaan formal.
Berikut adalah rekonstruksi pola defleksi yang dilakukan Joko Widodo dalam lima episode krusial:
- Oktober 2020 – Krisis Legitimasi UU Cipta Kerja
Isu primer: represi aparat terhadap demonstrasi mahasiswa, korban jiwa, dan tuduhan prosedur legislasi inkonstitusional.
Respons deflektif: kunjungan simbolik ke lokasi-lokasi ekologis (penanaman mangrove, rehabilitasi terumbu karang) dengan pendampingan selebritas digital.
Efek: indeks perhatian media terhadap represi turun 68 % dalam 72 jam (data Media Monitoring Kominfo, 2020). - Oktober 2022 – Tragedi Stadion Kanjuruhan
Isu primer: 135 korban meninggal dunia, pertanggungjawaban negara, dan ancaman sanksi FIFA.
Respons deflektif: pengumuman investasi Starlink dan pertemuan virtual dengan Elon Musk dalam waktu kurang dari 96 jam pasca-tragedi.
Efek: isu Kanjuruhan tereduksi menjadi “masalah teknis kepolisian”; narasi “Indonesia menarik investor global” mendominasi 74 % liputan televisi nasional (Nielsen, 2022). - November 2023 – Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023
Isu primer: pelanggaran etika berat oleh Ketua MK (kakak ipar Jokowi) yang memungkinkan pencalonan putra sulungnya.
Respons deflektif: serangkaian peresmian proyek infrastruktur Ibu Kota Nusantara (IKN) dengan frekuensi harian selama tiga pekan berturut-turut.
Efek: indeks kepercayaan publik terhadap MK turun 31 poin (SMRC, Des 2023), tetapi approval rating Jokowi tetap di atas 75 %. - Agustus–November 2025 – Gugatan Perdata Ijazah
Isu primer: gugatan citizen lawsuit di PN Solo (No. 211/Pdt.G/2025/PN Skt) yang mempersoalkan keabsahan ijazah sarjana Jokowi, disertai kriminalisasi delapan penggugat berdasarkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Respons deflektif: kehadiran sebagai pembicara penutup Bloomberg New Economy Forum 2025 (19–21 November), pertemuan bilateral dengan Michael Bloomberg, dan pujian eksplisit dari editor-in-chief Bloomberg News yang membandingkannya dengan Bill Clinton.
Efek yang terukur:
– Pencarian Google “ijazah Jokowi” turun 82 % dalam 48 jam pasca-pidato (Google Trends, 22 Nov 2025).
– Sentimen positif di X/Twitter terhadap Jokowi melonjak dari 41 % menjadi 73 % dalam periode yang sama (Drone Emprit, 2025).
– Isu kriminalisasi penggugat tenggelam sepenuhnya dari headline media nasional.
Analisis Struktural
Pola defleksi Jokowi mengikuti empat tahap yang konsisten:
- Absensi fisik dari locus krisis (mangkir sidang, kunjungan luar negeri, atau blusukan).
- Produksi hiper-visibilitas di ruang yang terkendali dan prestisius (forum internasional, proyek mercusuar, atau pertemuan dengan aktor global).
- Mobilisasi aparat media dan buzzer untuk amplifikasi narasi “keberhasilan” dan “pengakuan dunia”.
- Normalisasi amnesia kolektif: isu primer tereduksi menjadi “masalah kecil” atau “fitnah politik”.
Kesimpulan
Praktik defleksi yang berulang ini bukan sekadar teknik komunikasi, melainkan instrumen kekuasaan pasca-otoriter yang memungkinkan penguasa mempertahankan hegemoni simbolik tanpa harus menjawab pertanyaan substantif tentang akuntabilitas, integritas, dan kebenaran materiil.
Dalam kasus ijazah 2025, pidato di Singapura bukanlah pembuktian kompetensi, melainkan performa hegemonik yang dengan sengaja menegaskan:
“Legitimasi saya tidak lagi bergantung pada arsip universitas di Yogyakarta, melainkan pada panggung-panggung global yang saya pilih sendiri.”
Dengan kata lain, defleksi telah berhasil menggantikan dokumen dengan citra, arsip dengan sorotan lampu, dan kebenaran faktual dengan narasi kemenangan.
Dan selama mekanisme ini tetap berfungsi, pertanyaan paling sederhana sekalipun—“Mana ijazah aslinya?”—akan terus dijawab dengan senyuman ngécé di depan kamera Bloomberg. (Malika’s Insight 23 November 2025)
Penulis : Pengamat Politik dan Sosial










