OPINI: Ngaji Massal Usir Sihir

Malika Dwi Ana

Belakangan viral tayangan video yang memperlihatkan sekumpulan orang yang mengaji bersama di jalan Malioboro, Yogyakarta menyebar di media sosial. Selain mengaji, sebagian lainnya juga berbaris sembari membaca selawat. Gerakan mengaji bersama di trotoar ini juga sampai daerah-daerah lain di Indonesia. Peminatnya juga luar biasa. Tetapi seiring memviralnya video ngaji di trotoar ini, banyak pula hujatan dan nyinyiran netizen yang mempertanyakan izin, lalu mempertanyakan tempat, kenapa sudah ada masjid kok pindah di jalanan dan seterusnya. Apalagi dihubung-hubungkan dengan politik. 

Semenjak kontestasi Pilkada dan Pilpres tidak ada lagi ruang untuk apolitik, semua peristiwa otomatis dikaitkan dengan politik. Halnya dengan fenomena ngaji di trotoar juga dikaitkan dengan salah satu parpol yang kebetulan berafiliasi ke Islam. Banyak yang menganalisa secara politik bahwa gerakan ngaji bersama ini bagian dari marketing politik PKS demi tujuan khilafahnya. Ya suka-suka mereka berprasangka. 

Bacaan Lainnya

Tapi perlu mengingatkan bahwa sudah sering terjadi aksi massal seperti flashmob berupa aksi massal tarian atau nyanyian di public area dan disambut antusias oleh warga. Begitu juga banyak acara budaya seperti karnaval yang digelar tiap Agustusan, parade budaya, parade mobil hias, juga kirab pusaka keraton tiap Sekaten. Kirab Budaya yang sebagian bermuatan Religius dan Spritual sepertinya juga tidak menjadi masalah, berbagai acara tradisi budaya dan agama di berbagai belahan dunia, tampaknya tidak pernah menimbulkan reaksi negatif dari masyarakat. Contoh acara Ritual Mandi di Sungai Gangga, Perayaan Asyura oleh Syiah di Iran, acara arak-arakan ogoh-ogoh di Bali dan sebagainya.

Soal tempat mengaji, sudah ada masjid, musala dan surau kenapa memilih trotoar? Yang disebut baitullah atau rumah Allah dalam makna yang lebih luas adalah seluruh hamparan bumi ini. Kanjeng Nabi pernah dhawuh bahwa setiap tempat di bumi ini adalah masjid (tempat sujud). Dan beliau selalu mencontohkan agar senantiasa menjaga kesucian dari hadas kecil dan besar (Daimul wudlu) karena orang-orang yang berhadas tidak bisa masuk ke masjid (tempat sujud). Jadi mau di trotoar atau di mana pun di bumi ini tidak menjadi masalah untuk melantunkan ayat-ayatNya. 

Jika ada pihak yang tidak nyaman dengan aksi seperti ini ya alangkah baiknya membuat tandingan aksi. Bukankah aksi sebaiknya diimbangi juga dengan aksi, opini juga dibalas dengan opini, bukan dengan melaporkan ke aparat. Itu baru namanya berdemokrasi. Jangan standar ganda. Merasa tidak nyaman dengan orang mengaji di trotoar ya boleh-boleh saja counter aksi dengan paduan suara lagu-lagu gereja misalnya, atau parade macapatan, pembacaan Sutasoma, dan paduan suara lagu-lagu kebangsaan, kan tambah asyik, hiburan murah bagi rakyat yang sudah lama stres hidupnya penuh dijejali masalah. 

Kebetulan juga rakyat Indonesia tergolong masyarakat yang agamis. Saat segala daya upaya sudah dilakukan untuk mengubah keadaan menemui jalan buntu dan berkabut, maka gerakan moral menuju vertikalitas transendental (Ketuhanan) diyakini bisa mem-break-down kejumudan dan kebuntuan. Masyarakat meyakini kata-kata “Gusti Ora Sare,” Tuhan tidak tidur, mengindikasikan bahwa masyarakat kita bukanlah masyarakat sekuler, apalagi ateis. Mereka punya keyakinan jika semua ketidakadilan, pemiskinan, kejahatan dan pembodohan ini akan menemui fase akhir, yang menanam akan menuai, hukum tabur tuai. Apalagi kata tesis Baudillard, kita telah memasuki tahap realitas semu (hyper-reality) di era simulakra, di mana antara citra dan realita telah melebur sehingga publik tidak mampu membedakan mana isu fiktif, mana yang realita. Yang terjadi kemudian ya seperti hidup dalam kegelapan, melihat pun menjadi tidak terlalu jelas hingga membedakan mana kebenaran dan mana kepalsuan sangatlah tidak mudah di era ini. Jalan terakhir jika sudah mentok, sudah jatuh bangun, sudah pada posisi dan situasi terhimpit oleh ketidakmampuan, maka jalan terakhir adalah mengadu pada Tuhan, Sang Maha Segalanya dan berdoa, memohon jalan terang petunjukNya. Dengan doa, mengaji, selawat dan zikir setidaknya membuahkan ketenangan batin di tengah carut-marut politik, kehidupan hedonistic yang kemrungsung dan kapitalisme yang kering spiritualitas. 

Kebuntuan nalar, spiritual mengakibatkan kegelapan, situasi ketiadaan cahaya, tiadanya pencerahan atau situasi dzulumat ilannur, yang berefek pada proses pembodohan dan pembohongan yang massif terstruktur yang mematikan nalar atau akal sehat. Kita dipaksa permisif terhadap tindak koruptif para pejabat negara, dipaksa tunduk pada kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan, dipaksa merelakan tanah-tanah ulayat warisan leluhurnya dirampas oligarki dan gerombolan orang kaya. Bagaimana kita terus-terusan disuruh ikhlas menerima ketidakadilan, pemiskinan dan pembodohan tak bertepi dan disuruh diam sumberdaya alamnya dikeruk habis-habisan. Hari demi hari kita dipaksa setuju berhutang kepada rentenir, dan menonton pertunjukan Ibu Pertiwi dilucuti. Langkah kita terkunci, bingung, lalu ngawur dan nabrak-nabrak membabi buta hingga hampir gila. Maka berusaha waras di tengah kegilaan itu sendiri adalah kegilaan. Saat benar-benar tidak berdaya, tiada yang bisa dimintai tolong ya balik ke pusat kesadaran, yakni Tuhan. 

Jika ingin menemukan rahasia alam semesta, berpikirlah dalam terminologi energi, frekuensi dan vibrasi. ~ Nicola Tesla

Mengacu pendapat di atas, seluruh bentuk dan substansi alam semesta merupakan energi yang memiliki vibrasi, bergetar dalam frekuensi tertentu. Bahkan sebenarnya semesta tak lebih dari energi kehidupan, begitu juga tubuh kita yang merupakan medan energi. Quark, pembentuk inti atom memiliki vibrasi begitu juga elektron dan partikel lainnya. Pikiran, emosi maupun seluruh komponen tubuh kita memiliki vibrasi, baju yang kita gunakan, meja, batu, rambut, kuku, keringat atau barang-barang yang pernah kita pakai pun memiliki vibrasinya sendiri.