Oleh Malika Dwi Ana
DALAM diskusi sejarah dan politik Indonesia belakangan ini, Nahdlatul Ulama (NU) sering menjadi sorotan karena posisinya yang ambigu: sebagai penjaga Islam Nusantara yang moderat, sekaligus aktor utama dalam dinamika kekuasaan. Pernyataan seperti “NU ambigu… 10 tahun terakhir ikut andil dalam kerusakan, tapi yo gak nyadar”, mencerminkan kekecewaan sebagian masyarakat terhadap peran NU dalam politik kontemporer. Ini bukan tuduhan kosong, tapi refleksi atas kontribusi NU yang—meski punya niat baik—sering kali justru memperburuk isu korupsi, nepotisme, dan erosi demokrasi.
Mari kita bedah secara jujur, tanpa memihak: Apa andil NU dalam kerusakan 2015–2025? Dan kenapa organisasi raksasa dengan 90 juta anggota ini tampak “tidak menyadari”?
Andil NU: Dari Kemenag hingga Dukungan Politik yang Kontroversial
Sejak 2015, NU—melalui kader-kadernya di Kementerian Agama (Kemenag)—memegang kendali penuh atas anggaran negara terbesar ketiga setelah Kementerian PUPR dan Pendidikan, mencapai Rp70,3 triliun pada 2025. Ini warisan Orde Baru yang diteruskan tanpa henti: Menag seperti Lukman Hakim Saifuddin (2014–2019), Fachrul Razi (2019–2020), dan Yaqut Cholil Qoumas (2020–2024) semuanya dari kalangan NU. Jabatan strategis seperti Dirjen Pendidikan Islam dan Dirjen Penyelenggaraan Haji & Umrah dikuasai 98% oleh kader NU, dengan data internal Muhammadiyah 2024 menunjukkan hanya 2% posisi untuk ormas lain.
Namun, di balik dominasi ini, muncul jebakan korupsi sistemik. Kasus kuota haji fiktif era Yaqut (2023–2025) merugikan negara lebih dari Rp1 triliun, dengan dugaan keterlibatan tiga pejabat Kemenag yang dilaporkan Indonesia Corruption Watch (ICW) ke KPK pada Agustus 2025. Ini mirip kasus Suryadharma Ali (eks Menag NU, divonis 10 tahun penjara pada 2016 atas korupsi haji Rp1 triliun). Belum lagi bansos PTUN Kemenag 2023 (Rp127 miliar hilang) dan mafia proyek madrasah serta dana BOS yang mark-up hingga miliaran rupiah setiap tahun, seperti temuan ICW 2022.
Di ranah politik, NU terlibat dalam dukungan pemilu yang ambigu. Pada Pilpres 2019, PBNU secara terbuka mendukung Jokowi-Ma’ruf Amin, meski Ma’ruf adalah Ketua Umum NU saat itu—menciptakan konflik kepentingan. Pilpres 2024 lebih kontroversial: NU dipecah belah oleh politik uang dan jual-beli dukungan, dengan sebagian kiai mendukung Prabowo-Gibran (diduga melalui mahar politik), sementara yang lain netral. ICW mencatat, korupsi elektoral seperti vote buying dan janji jabatan mendominasi, dengan NU sebagai salah satu pemobilisir suara terbesar di basis pedesaan. Hasilnya? Pemilu 2024 penuh kecurangan berupa penyalahgunaan fasilitas negara, netralitas aparatur terganggu, dan politik uang laten yang merusak integritas demokrasi.
Paradoksnya, NU—yang lahir dari Khittah 1926 sebagai organisasi sosial-keagamaan—kembali terjebak dalam politik praktis. Dukungan ini sering kali demi stabilitas umat, tapi berujung pada kerusakan: erosi kepercayaan publik terhadap lembaga agama, dan kontribusi pada darurat korupsi seperti yang digambarkan Kompas pada Januari 2025, di mana bantuan sosial jadi alat pencitraan politik.
Kenapa Ngga Nyadar? Ambigu Identitas dan Mekanisme Internal
NU ambigu karena dualitasnya: di satu sisi, PBNU di bawah Gus Yahya Cholil Staquf (2021–sekarang) menekankan Islam Nusantara” yang inklusif, melawan radikalisme seperti HTI. Di sisi lain, basis grassroot—kiai dan santri—sering terlibat transaksionalisme lokal, seperti jual-beli dukungan pemilu demi dana pesantren. Rekaman bocor Gus Yahya 2023 mengakui: “Kemenag jadi monster… NU hancur karena ini, bukan HTI.” Said Aqil Siradj (eks Ketum 2010–2021) juga pernah sebut Kemenag “babi yang kita pelihara sendiri”.
Kenapa tidak sadar? Karena NU melihat diri sebagai “penjaga umat”, bukan pelaku. Andil dalam kerusakan dianggap sebagai “korban sistem” atau mengorbankan yang sedikit “demi kebaikan lebih besar”. Ini mirip paradoks korupsi politik nasional 2025: skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia stagnan di 34/100 (Transparency International), dengan pemilu sebagai pemicu utama. NU, sebagai aktor besar, ikut terjebak—tapi narasi internalnya tetap heroik.
Jalan Keluar: Kembali ke Khittah, dengan Kesadaran Diri
NU bukan musuh negara; ia aset demokrasi jika kembali ke akar. Khittah 1926—fokus sosial, bukan politik—adalah kunci. Gus Dur pernah bilang: “Agama jangan jadi kuda tunggangan kekuasaan.” Di 2025, saat korupsi haji dan politik uang menggerogoti kepercayaan, NU bisa pimpin rekonsiliasi: audit internal Kemenag, tolak dukungan transaksional, dan dorong transparansi pemilu.
Ambigu NU adalah cermin ambigu demokrasi kita. Tapi “gak rumangsa” bisa berubah jadi kesadaran jika ada keberanian melakukan introspeksi. Seperti kata Wahab Chasbullah: “Demokrasi itu pelacur cantik… hati-hati kena penyakitnya.” NU bisa ketemu obatnya: jika kembali ke akar, bukan kepada kekuasaan.
(Malika’s Insight 12/11/2025)
Penulis : Pemerhati Sosial










