Pidato Rp1,2 Triliun yang Menyembunyikan Rp160 Triliun

oleh -
oleh

Oleh: Malika Dwi Ana

“Jangan khawatir. Tidak usah ribut. Duitnya ada—duit yang tadinya dikorupsi, saya ambil kembali, saya hemat.” Kata Presiden Prabowo Subianto, 4 November 2025, di Stasiun Tanah Abang Baru.

Rp1,2 triliun per tahun untuk Whoosh? “Kecil,” katanya. “Kita bangsa kaya, bangsa kuat, bangsa mampu.”

Di negeri di mana 194,6 juta jiwa (68,25%) hidup di bawah garis kemiskinan menengah (Bank Dunia, 2024) dan rata-rata IQ nasional 78,49 (Lynn & Becker, 2019), kalimat itu terasa seperti oase di tengah padang yang kering. Segar, menenangkan. Tapi terlalu indah untuk jadi kenyataan—too good to be true.

Karena di balik air dingin itu, ada racun yang sedang dituang pelan-pelan.

Asap Populisme, Cermin Fatamorgana

Prabowo tidak sedang berpidato. Ia sedang menyelenggarakan pertunjukan smoke and mirrors kelas dunia:

  • Asap:
    Rp1,2 triliun dibuat terdengar remeh dengan mantra “duit korupsi saya ambil kembali”.
    Kata “hemat”, “anti-korupsi”, “bangsa kaya” diulang-ulang hingga rakyat lupa: kita masih negara berutang US$430 miliar dan APBN kita bocor di mana-mana.
  • Cermin:
    Publik dipaksa menatap Prabowo sang penyelamat pribadi, bukan *sistem yang sudah busuk sejak awal.
    Utang Whoosh jadi drama satu orang: “Saya tanggung jawab.”
    Demokrasi berubah jadi monarki sementara: kalau “Bapak” bilang aman, maka aman. Entah, apakah si Bapak akan hidup hingga 2085 demi melunasi hutang?

Fakta yang Disembunyikan di Balik Cermin

Sambil rakyat disuguhi angka Rp1,2 triliun per tahun, pemerintah diam-diam sedang menyiapkan bom generasi:

Pokok utang awal Rp75 triliun (bunga 2%) ditambah cost overrun Rp9 triliun (bunga 3,3%) kini direncanakan diperpanjang tenornya menjadi 60 tahun.
Artinya:

  • Total beban pokok plus bunga melonjak jadi sekitar Rp160 triliun.
  • Anak cucu kita akan membayar kereta cepat sampai tahun 2085.
  • Di tahun-tahun terakhir, bunga saja bisa mencapai Rp3–4 triliun per tahun.

Dan yang paling mengerikan: Tidak pernah ada audit forensik kriminal yang benar-benar terbuka.
Tidak ada satu pun nama yang diseret ke meja hijau atas markup, renegosiasi sepihak, atau konsesi tak seimbang.

“Tidak Ada Masalah” = Palu Pengadilan Politik

Dengan satu kalimat “saya sudah pelajari, tidak ada masalah”, Prabowo secara efektif mematahkan tulang punggung KPK.
Penyelidikan dugaan korupsi di PT KCIC yang sudah jalan sejak Januari 2025 tiba-tiba jadi macan kertas. Johanis Tanak masih berani bilang “tetap lanjut”, tapi siapa yang percaya?
Kalau Presiden sudah vonis “tidak ada masalah”, siapa berani bantah?

Ini bukan kepemimpinan. Ini otoritarianisme berbalut populisme.

Warisan Glembuk yang Tak Pernah Mati

Di balik layar, skrip ini ditulis oleh tangan yang sama:

  • Reframing: Dari “mengapa proyek ini gagal?” jadi “siapa yang bayar?”.
  • Personalisasi: Dari “sistem rusak” jadi “saya yang tanggung”.
  • Silence is golden: Jokowi tak bicara satu kata pun—soal proyek yang ia lahirkan sendiri.

Prabowo bukan melawan warisan Jokowi.
Ia sedang menggenapi warisan itu dengan seragam baru.

Akhir dari Fatamorgana

“Pasang badan atas nama keberlanjutan” kini jadi kredo suci yang menutupi:

  • Sesat pikir perencanaan.
  • Sesat arah pembangunan.
  • Sesat logika anggaran.

Rakyat diajak tepuk tangan untuk “pemimpin berani”. Padahal keberanian sejati adalah:

  • Bongkar kontrak rahasia.
  • Audit forensik terbuka.
  • Hentikan proyek lanjutan sampai bersih.

Bukan sekadar bilang “jangan khawatir” sambil menandatangani perpanjangan utang 60 tahun di belakang layar.

Whoosh terus melaju 350 km/jam. Tapi ke mana? Ke masa depan, atau Whoosh Whoosh bablas ke jurang ilusi yang semakin dalam?

“Di negeri yang haus kabar baik, kebohongan termanis selalu menang—setidaknya sampai tagihan datang.”(Malika Insight 08/11/2025)

Penulis : Pemerhati Sosial