Bar & Bakpao Setnov

Djoko Edhi Abdurrahman

Fredrick Yunadi, kena tulah bakpaonya Setnov. Ia mau-tak-mau harus membayar arogansinya di televisi dengan status tersangka. Padahal masih ditunggu Dahnil, Ketum Pemuda Muhammadiyah yang mau dituntutnya di ILC. Kasihan, Fredrick dapat hadiah mobil porsche sekaligus diciduk KPK.

Repotnya Peradi ada tiga organ. Ketika Fredrick kena KPK, dua Peradi bahagia, Peradinya Fredrick menangis. Rival Peradi sendiri adalah KAI (Kongres Advokat Indonesia), juga ada tiga. Ikadin ada dua, IPHI juga dua. Empat bar lainnya, juga belah bambu. Kena kasus tulah bakpao Setnov, tak diketahui siapa yang kudu menghadapi KPK. Barnya tak berdaya!

Nama Inggrisnya Peradi, ialah Indonesian Bar Association. Rumitnya, begitu Perma mengganti single bar menjadi multi bar tiga tahun lalu, bar tumbuh laksana jamur di musim hujan. Sidang kode etik Fredrick Yunadi pun tak jelas bar yang mana, yaitu, namanya Indonesian Bar Association juga. Jika dipecat di satu bar, bisa pindah ke bar yang lain, pemecatan tak berlaku. Yah, bengkak deh bakpao si Fredrick. Kali ini tak bisa diselesaikan di bar rupanya.

Istilah “bar” dalam sejarah lawyer berasal dari kata “bar”, tempat bertemu orang-orang hukum sambil minum wine. Ya, bar, seperti pada istilah bar & resto. Kalangan hukum bertemu dengan kolega dan klien di bar untuk membahas kasus hukum. Karena kebiasaan ini, maka organisasi advokat dinamai organisasi bar hingga kini. Yaitu, organisasi dengan perikatan hukum longgar, persekutuan perdata. Satu-satunya badan hukum yang tersisa yang menyebut diri firma.

Sejarah tingkat nasional, 8 organisasi bar mendirikan KAI, tapi Peradi memonopoli legalitas BAS, sampai tiga tahun lalu. BAS diliberisasi oleh Ketua MA Hatta Ali setelah Majelis PN Jakarta Pusat memutuskan KAI harus ditutup. Sementara Otto Hasibuan diusir dari Kongres Peradi, memulai kelahiran dua Peradi, adiknya.

Ada baiknya para pemimpin Bar berkumpul minum wine di Bar Arcadia milik Putera Sabam Sirait untuk bahas bakpao, imunitas advokat, dan amandemen UU Advokat yang tak kunjung rampung itu, setidaknya untuk menghadang kepunahan imunitas advokat versus obstruction of justice. Sori aku sudah berhenti berwine, sudah taubatan nasuha. Tapi aku mau ikut. Salam ruat colloem.

Penulis: Djoko Edhi Abdurrahman, Anggota Komisi Hukum DPR 2004 – 2009, Wasekjen DPP KAI, Wasek LPBH, PBNU.