Kontroversi Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto: Dendam Politik, Ghost Protocol, dan Narasi yang Dikonstruksi

oleh -
oleh

Oleh: Malika Dwi Ana

Indonesia kembali diramaikan dengan wacana penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Jenderal Besar TNI (Purn.) H.M. Soeharto. Usulan ini langsung memicu gelombang penolakan keras dari kelompok-kelompok tertentu. Label “penjahat HAM”, “pembantai 1965”, hingga “dalang komunis yang didukung CIA” kembali digoreng habis-habisan. Lucunya, tuduhan-tuduhan itu sering kali saling bertolak belakang sampai akal sehat pun ikut tersesat.

Tuduhan Paling Absurd: Soeharto Dalang Komunis?

Narasi paling ngawur yang terus diputar adalah Soeharto sebagai “dalang G30S/PKI” yang bekerja sama dengan Letkol Untung, sekaligus agen CIA untuk menggulingkan Soekarno. Pertanyaannya sederhana:
Kalau Soeharto benar-benar dalang komunis, mengapa selama 32 tahun berkuasa (1967–1998) Indonesia justru menjadi salah satu negara anti-komunis paling garang di dunia?

Fakta berbicara:

  • PKI dibubarkan total, ratusan ribu anggotanya dipenjara atau dihukum mati. Lalu keluar TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, 5 Juli 1966, yang secara resmi menetapkan PKI sebagai partai terlarang dan Ideologi Komunis/Marxisme-Leninisme dilarang di seluruh wilayah Indonesia.
  • Indonesia keluar dari Gerakan Non-Blok versi kiri, mendekat ke Barat, dan menjadi pendiri ASEAN yang anti-komunis.
  • Doktrin “Dwifungsi ABRI” dan “Catur Karya Pancasila” dirancang khusus untuk mencegah bangkitnya ideologi kiri.

Jadi, kalau Soeharto dianggap “dalang komunis”, maka dia adalah dalang komunis paling bodoh sepanjang sejarah—yang melenyapkan partainya sendiri selama tiga dekade gitu? Logika macam apa ini?

Soekarno dan PKI: Fakta yang Disembunyikan Generasi Baby Boomers

Suatu ketika saya bertanya kepada kakek saya (lahir 1932, mantan tentara pelajar 1948), “Apakah Soekarno terlibat PKI?”
Jawabannya datar:
“Kalau tidak terlibat, kenapa D.N. Aidit bisa keluar masuk istana seenaknya? Kenapa Semaun dan Tan Ling Djie bisa kabur ke Cina pakai pesawat Garuda atas restu presiden? Kenapa Lekra dan BTI dibiarkan membesar sampai menelan korban di kelompok kanan?”

Soekarno mungkin bukan komunis sejati, tapi dia jelas memelihara PKI sebagai counter-weight (penyeimbang) terhadap militer. Itu strategi politik “Nasakom” yang berbahaya. Ketika PKI sudah terlalu kuat dan mulai berani membunuh jenderal-jenderal, Soekarno malah diam—bahkan setelah Mayjen Ahmad Yani dibantai, dia masih ngotot “jangan provokasi”.

Itu bukan netralitas. Itu pembiaran.

Korban 1965: Bukan Hanya PKI

Yang dilupakan narasi resmi sekarang: korban 1965-1966 bukan hanya anggota PKI.

  • Ribuan santri NU dan kyai di Jawa Timur dibantai karena memiliki tanah yang luas.
  • Ratusan ribu etnis Tionghoa jadi sasaran karena dianggap komunis = China.
  • Bahkan anggota PNI dan keluarga tentara yang ikut jadi korban amuk massa yang salah alamat.

Revolusi selalu berdarah. Perancis 1789, Rusia 1917, China 1949—semuanya punya “daftar hitam” yang jauh lebih panjang. Tapi kenapa hanya Indonesia 1965 yang terus dihakimi seolah-olah itu “genosida terencana Soeharto”?

Ghost Protocol: Operasi Menghancurkan Legasi Soeharto

Ada pola yang terlalu rapi untuk disebut kebetulan:

  1. PDIP dan Dendam 25 Tahun
    Megawati Soekarnoputri memimpin PDIP selama 25 tahun (1999–sekarang) dengan satu narasi tunggal: “Soeharto jahat karena menjatuhkan bapakku.” Dendam pribadi dijadikan ideologi partai.
  2. Media Buzzer: Tempo dan Jejaring Soros
    Tempo yang dulu memuja Jokowi sebagai “New Hope” (2014) kini jadi mesin propaganda anti-Orba, didanai jejaring Open Society Foundation (George Soros).

Rezim Reformasi: Menjadikan Soeharto Musuh Negara Nomor Satu

Sejak 1998, rezim reformasi melakukan pemusnahan sistematis terhadap seluruh warisan peninggalan Soeharto yang terbukti berhasil:

  • Repelita (1969–1998) → 6 kali berhasil, pertumbuhan rata-rata 7% per tahun, inflasi dari 650% (1966) jadi 6% (1997), swasembada pangan 1984, cadangan devisa US$ 33 miliar.
    Dihapus total 1999, diganti RPJM yang sampai hari ini gagal capai 7% lagi.
  • ABRI Masuk Desa & Babinsa → jaringan intelijen + pembangunan desa terpadu.
    Dicabut 2004, akibatnya: radikalisme masuk desa, terorisme meledak (JI, JAT, JAS), konflik SARA meningkat.
  • Program KB “Dua Anak Cukup” → bonus demografi 1990–2025.
    Dilemahkan 2004–2014, sekarang populasi meledak lagi, kemiskinan baru muncul di kelas menengah bawah.
  • GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) → peta jalan 25 tahun yang jelas.
    Dihapus total 2002 via amandemen UUD 1945.
  • UUD 1945 diamandemen 4 kali (1999–2002) → 78 pasal diubah, 90% sesuai rekomendasi IMF-World Bank:
  • Hapus Pasal 33 ayat (3) “Bumi, air dan kekayaan alam dikuasai negara” → dibuka liberalisasi tambang.
  • Hapus dwifungsi ABRI → militer dijauhkan dari politik, negara jadi rentan kudeta sipil.
  • Hapus MPRS → TAP MPRS XXV/1966 tentang larangan PKI jadi “zombie” yang tak bisa dicabut lagi.

Semua ini dilakukan atas nama “demokrasi” dan “HAM”, padahal tujuannya satu: memastikan Orde Baru tidak pernah bangkit lagi.

Soeharto: Tak Pernah Sekali Pun Menjelekkan Soekarno

Sepanjang hidupnya, Soeharto tak pernah sekali pun mengeluarkan kata jelek tentang Soekarno di depan publik.

  • Pidato kenegaraan 16 Agustus selalu memuji “jasa Proklamator”.
  • Makam Soekarno di Blitar direnovasi megah 1977–1979 pakai APBN.
  • Hari lahir Pancasila 1 Juni tetap diperingati, meski Soekarno sudah jatuh.
  • Mikul dhuwur, mêndhêm jêro — diangkat setinggi langit, aibnya dikubur sedalam bumi.

Bandingkan dengan anak-cucu Soekarno dan para “pejuang reformasi” yang sampai hari ini masih menginjak-injak nama Soeharto setiap tahun.

Penutup: Waktunya Berhenti Dijajah Narasi

Soeharto bukan malaikat. KKN, Trisakti, penculikan—itu noda hitam yang tak bisa dibela.
Tapi menolak gelar pahlawan hanya karena dendam politik dan operasi hitam asing sama artinya membiarkan sejarah ditulis oleh pihak yang kalah perang dingin.

Kalau Soeharto tak layak dijadikan pahlawan karena 1965, maka Soekarno pun tak layak, karena membiarkan PKI membesar.
Kalau korban 1965 adalah “genosida”, maka pembantaian santri NU di Madiun 1948 dan 1965 juga genosida.

Kita butuh rekonsiliasi, bukan kompetisi siapa yang lebih korban.

Sudahi Ghost Protocol-nya. Biarkan sejarah menilai Soeharto apa adanya: pemimpin yang menyelamatkan Indonesia dari jurang komunisme, membuat bangkit dari inflasi 650%, membangun infrastruktur dari nol, menciptakan bonus demografi, sampai menjadikan Indonesia swasembada pangan, tapi juga meninggalkan luka yang masih dijadikan alat politik sampai hari ini.

Karena selama dendam masih dijual sebagai kebenaran, dan warisan baiknya dihancurkan atas nama “reformasi”, Indonesia tidak akan pernah move on.

(Malika’s Insight – 07 November 2025)

Penulis : Pemerhati Sosial