Selingkuh dengan istri tetangga saja bisa dibacok, apalagi selingkuh dengan istri atasan. Ya terlepas dari cara membunuhnya sadis atau tidak, tapi yang disebut istri itu di kalangan masyarakat Indonesia dianggap sebagai simbol kehormatan, martabat atau harga diri. Maka jika merasa dilecehkan harga dirinya bisa saja orang tetiba menjadi sadis dan membunuh. Jika harga diri disinggung, maka nyawa taruhannya.
Dalam ranah spiritual, kemarahan melampaui batas itu disebut tragedi kesadaran diri. Jika marah melampaui batas sampai masuk dalam rasa maka rasionalitas dan spiritualitas menjadi kering. Keringnya spiritualitas itu menyebabkan orang bisa melakukan tindakan apa saja yang merusak; tidak saja dirinya, keluarganya, bahkan mungkin korps-nya.
Demikian pula dengan yang dilakukan oleh FS, tindak kekerasan dan pembunuhan yang dilakukannya secara psikososial adalah bagian dari NALURI MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI. Naluri ini ada di dalam tradisi dan budaya bangsa Nusantara. Di kalangan masyarakat Madura dikenal dengan nama Carok, di Makassar dan Bugis dikenal sebagai Siri’.
Meski kini peradaban yang katanya modern ini tak memberi ruang sedikitpun bagi ekspresi naluri kelelakian semacam ini. Hukum positif akan menganggap ritus-ritus Carok, Siri’ dan semacamnya sebagai wujud anarkisme. Pelaku akan dikenakan pasal-pasal hukum pidana tentunya. Benar menurut tradisi maupun budaya, belum tentu benar menurut hukum.
Bukannya mau permisif dengan apa yang dilakukan FS, tapi naluri itu ada pada diri setiap lelaki, di ruang-ruang sunyi setiap manusia laki-laki normal. Baik orang biasa, bahkan pada orang berpendidikan dan punya jabatan seperti Sambo. Begitu kesentil titik paling sensitif harga dirinya misal, pacar atau istri diganggu, ya marah, emosi, hingga kalap membunuh. Mosok ya diam saja melihat istri “diobok-diobok”.
Lalu apa bedanya sama orang sakit jiwa yang memanfaatkan medsos untuk mencari partner swing untuk berbagi istri dengan laki-laki lain. Banyak bertebaran akun-akun seperti itu di medsos yang terang-terangan mengiklankan istrinya untuk dicicipi bersama.
Teledornya FS saja terbakar emosi hingga tak terkendali sampai sebegitunya, padahal seharusnya dia bisa berlaku lebih rapi dan cantik, misal membunuh J di tempat lain dengan cara yang lebih alus sehingga tak banyak yang terkena dampaknya, korps pun tetap aman dan bersih.
Di kasus ini terlihat banyak sekali fallacy. Luar biasa pengaruh media menggiring opini. Hampir semua media menggiring masyarakat untuk membenci FS karena telah membunuh dengan cara yang sadis. Sehingga lupa pada kesalahan Joshua dan Putri yang dimungkinkan sangat bisa menjadi pemicu atau turut berperan memicu tindak kejahatan pembunuhan itu terjadi.
Ada perspektif victimology dan criminology dalam hukum, dimana victimology melihat dalam kejahatan itu ada peran korban, sedang dalam perspektif criminology melihat setiap tindak kejahatan itu pihak pelaku kejahatanlah yang disalahkan.
Misal, di tengah malam anda keluar rumah dengan baju minimalis dan seksi, lalu diperkosa, maka menurut pandangan criminology yang salah adalah yang memperkosa karena otaknya mesum. Tapi menurut pandangan victimology, si korban juga salah karena memancing orang untuk melakukan tindak pemerkosaan.
Menemukan keseimbangan dialektika di kasus FS nampaknya sangat sulit. Sudah banyak isu menumpang sehingga mengaburkan masalah substansial; perseteruan antar geng Makassar dan Solo lah, rebutan pengaruh dan jabatan, orang ke-3 FS, penembakan di KM 50, bisnis judi online, hingga terbakarnya gedung kejaksaan dan seterusnya. Mau melihat kasus dari perspektif apapun sah-sah saja. Tapi inti dari kasusnya adalah soal aib memalukan. Beberapa kali ditanya LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) pun, Putri Candrawathi berkali-kali bilang soal “MALU.”
Kopi_kir sendirilah!
Penulis: Malika Dwi Ana, Pengamat Sosial Politik.