Hari ini, 21 April dikenal sebagai Hari Kartini. Sudah tertulis di buku-buku sejarah, bahwa Kartini adalah pejuang emansipasi. Saya hanya berusaha sedikit “ndunungké” atau berusaha meletakkan pada porsinya, bahwa Kartini sebenarnya tidak lebih besar dari Dewi Sartika, tidak juga lebih hebat dari Cut Nyak Dhien, Laksamana Malahayati dan perempuan-perempuan hebat sebelum ia. Kenapa? Kartini itu sengaja diangkat Belanda demi percontohan “berhasilnya” Etische Politiek (Politik Etis) atau politik balas budi.
Adalah Conrad van Deventer (1857-1915), seorang ahli hukum Belanda, yang sekaligus adalah tokoh Politik Etis (1901) yang memperjuangkan bidang edukasi, emigrasi dan irigasi untuk kaum inlander agar bisa mengecap pendidikan yang sama dengan kaum ningrat dan golongan berpunya. Ia mendirikan Kweekschool voor Inlader Onderijzeressen, yakni sekolah bagi kaum inlander di banyak daerah, salah satunya di Salatiga. Sebagaimana diketahui bahwa di masa kolonial, tidak semua orang bisa mendapatkan pendidikan kecuali orang-orang dengan strata sosial tinggi seperti priyayi, orang kaya dan ningrat. Dengan politik balas Budi, Belanda ingin dicitrakan baik hati kepada bangsa jajahan. Dan Lalu mengangkat Kartini sebagai simbol keberhasilan pendidikan Politik Etis-nya tersebut.
Sedangkan Dewi Sartika ditenggelamkan citranya oleh Belanda karena nenek maupun bapaknya terlibat dalam pemberontakan Tegallega. Yang satu putri bupati “baik-baik”, yang lain anak bupati atau Patih yang dibuang ke Ternate… Demikian tulis H. Mahbub Djunaidi kepada sahabatnya, sebagaimana ditulis dalam Biografi Hussein Badjerei (2003), hlm. 233-234)
Sebagai informasi, H. Mahbub Djunaidi adalah seorang penulis, kolomnis, dan aktivis pergerakan yang cukup dikenal. Ia aktif di organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan di PBNU. Tulisan-tulisannya tersebar luas. Menggelitik dan kritis. Akibatnya, ia sempat mendekam dalam penjara. Uniknya, ia bersahabat karib dengan Hussein Badjerei, seseorang yang hidupnya banyak dihabiskan sebagai aktivis Al-Irsyad, yakni organisasi pembaharu yang didirikan oleh Syaikh Ahmad Soorkati.
Tak hanya Mahbub yang mempertanyakan sosok Kartini yang lebih ditonjolkan sebagai pejuang wanita Indonesia dibandingkan perempuan-perempuan hebat yang semasa dengannya, tetapi juga ada nama-nama lain yang merupakan sejarawan senior, seperti Prof. Harsja W Bachtiar dan Dr. Taufik Abdullah. Baik Mahbub, Harsja, maupun Taufik Abdullah, semuanya memiliki pandangan bahwa Kartini ditonjolkan oleh Belanda untuk menunjukkan bahwa Politik Etis telah berhasil.
Demikianlah… tulisan rekonstruksi sejarah begini pasti akan menuai banyak protes. Karena sudah pakem di buku-buku sejarah demikian yang tertulis. Tidak dikomparasikan betapa jauh sebelum Kartini, perempuan-perempuan secara adi-kodrati sangatlah ‘berdaya’ dan punya kedudukan yang sama dengan laki-laki. Bahwa kemudian terjadi sub-ordinasi atas peran perempuan, adalah akibat budaya feodal warisan penjajah Belanda. Betapa peran perempuan yang sangat berpengaruh di masa lalu, berusaha dihilangkan dari ingatan bangsa Indonesia, hanya dianggap sebagai “konco wingking“, yang hanya berkutat soal dapur, sumur dan kasur. Secara busana pun, diberikan kain sinjang alias jarit, untuk membatasi langkah-langkahnya ben ra pecicilan jalannya. Sudah begitu, kalo jalan disuruh menunduk, “tumungkul“, tidak boleh menatap mata, hanya boleh bersuara jika diminta, seolah takdir pun ditentukan, pasangan hidup dipilihkan… dan lain-lain, masih banyak lagi aturan feodal untuk membelenggu perempuan. Dengan feodalisme, Belanda berusaha menutupi peran besar perempuan dalam sejarah dan filosofi bangsa Indonesia.
Secara adi-kodrati, perempuan di bumi Nusantara dihormati sebagai simbol penguasa lautan, ada Kanjeng Ratu Kidul sebagai penguasa laut selatan, bumi pun disebut Ibu Pertiwi, Ibu Bumi. Juga ada “unen-unen” soal Sabda Pandita Ratu, ini simbolisasi kekuatan perempuan yang “malati“, cerdas, dan berotak cemerlang. Bahwa di balik seorang Raja, ada Ratu yang kata-katanya bertuah, kawan berdiskusi dan bahkan ahli strategi. Bukan disebut Sabda Pandita Raja; di belakang seorang raja selalu ada pembisiknya, yaitu ratu. Hingga ada plesetan bahwa di balik tokoh laki-laki antagonis, selalu ada wanita sebagai pengendali dan pengatur skenarionya.
Dalam kisah sejarah, di zaman kerajaan Singhasari, yang disebut berhati SINGHA sebenarnya adalah Kendedes. Patut diduga, ialah tokoh yang menyingkirkan Tunggul Ametung dan Ken Arok karena dianggap tidak menepati janjinya, yakni membawa trah Jenggala di Tumapel untuk mendominasi wilayah. Ini mungkin salah satu contoh bahwa perempuan di era itu sudah berperan menjadi semacam silent operator.
Bahkan dalam filosofi Jawa pun, bencana alam atau katastropi, juga disimbolkan sebagai kekuatan Shakti (perempuan), bukan Syiwa (laki-laki) yang jika marah dan mengamuk bisa memporak-porandakan segalanya.
Bisa dibayangkan betapa keberadaan feodalisme berusaha mengecilkan dan mensubordinasi peran perempuan dalam sejarah dan filsafat bangsa. Bahkan dengan penonjolan tokoh Kartini yang termehek-mehek menulis kegalauannya dalam surat kepada sahabatnya yang orang Belanda itu jadi semacam mendegradasi peran perempuan Nusantara yang begitu hebatnya. (mda)
Kopi_kir sendirilah!
Penulis: Malika Dwi Ana, Social Politic Enthusiast, Freelance Writer.