Oleh: Malika Dwi Ana

Di tengah gejolak sosial yang terus membara, narasi tentang provokasi dan manipulasi emosi massa kembali menjadi sorotan. Memancing kemarahan rakyat bukan perkara sederhana. Dibutuhkan teknik yang taktis, perencanaan matang, dan eksekusi yang terlatih untuk melempar “batu pertama” yang mampu mengguncang stabilitas. Tanpa kelihaian, hasilnya tak akan sebesar yang diharapkan. Namun, ketika provokator tertangkap, fakta mencengangkan terungkap: beberapa di antaranya diduga anggota TNI aktif. Logika siapa yang tidak goyah mendengar ini? Pertanyaan besar pun mengemuka: siapa sebenarnya dalang di balik kekacauan ini?
Rakyat, seperti biasa, menjadi korban. Mereka adalah tumbal dari kebiadaban yang terselubung dalam permainan elit. Kemarahan yang meledak di jalanan bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja. Ia dipicu, diarahkan, dan dibiarkan membesar oleh mereka yang memiliki kuasa untuk mengendalikan narasi. Namun, ironisnya, elit yang sama selalu mencuci tangan, menyangkal peran mereka dalam menciptakan situasi buruk ini. Mereka sibuk mencari kambing hitam, menunjuk “dalang” tanpa bukti kuat, dan mengalihkan perhatian dari akar masalah yang sebenarnya.
Seperti yang dikatakan oleh seorang pengamat, “Tidak ada provokator yang bisa menggerakkan ratusan ribu atau jutaan massa di berbagai kota kecuali negara. Tidak ada.” Kalimat ini menusuk. Dalam pergolakan besar, selalu ada pihak-pihak kecil yang memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadi. Namun, skala kerusuhan yang melibatkan massa besar di berbagai daerah menunjukkan adanya koordinasi yang jauh lebih besar—sesuatu yang hanya mampu dilakukan oleh entitas dengan sumber daya (kapital, energi) dan otoritas negara. Negara, dalam hal ini, bukan sekadar institusi, tetapi juga elit-elit yang mengendalikan roda kekuasaan.
Namun, respons yang diberikan selalu parsial dan sering kali meleset. Bukannya menyelesaikan akar persoalan—seperti ketidakadilan, kesenjangan, atau ketidakpuasan rakyat—para penguasa lebih memilih mencari musuh imajiner. Istilah “provokator” menjadi senjata ampuh untuk mengaburkan fakta. Yang lebih memprihatinkan, yang ditangkap polisi bukanlah penjahat yang membentuk pasukan penjarah, pembakar, atau pengebom molotov, melainkan mereka yang sekadar bersuara kritis. Aktivis jaringan masyarakat sipil menjadi target, bukan dalang jahat yang mampu merekrut pasukan preman pengangguran kriminal dari seluruh penjuru Republik. Ketika aparat di Indonesia tak pernah mampu mengungkap kejahatan yang begitu gamblang, kesimpulan yang muncul adalah bahwa penjahatnya adalah… elit pengelola negara itu sendiri. Dang!!!
Lihat saja Kapolri. Meski desakan untuk menggantikannya begitu keras, hingga kini posisinya tetap kokoh. Ini bukan soal personal, tetapi simbol dari bagaimana sistem melindungi aktor-aktor utamanya, bahkan ketika kepercayaan publik telah runtuh. Sinetron politik berjudul “Maling Teriak Maling” pun terus berlanjut. Episode terbarunya menampilkan drama klasik: mereka yang menciptakan kekacauan adalah mereka yang paling keras berteriak menuduh orang lain sebagai biang kerok.
Rakyat Indonesia tak pernah lelah mencintai negerinya, tetapi kini lelah dipermainkan, ditipu, dimanipulasi, ditidakjujuri, dibodohi, dirampok, diperas, dan dijarah oleh para pengelola negara ini. Ini bukan sekadar cerita tentang provokasi atau kerusuhan. Ini adalah cerminan dari sebuah sistem yang gagal mendengar rakyat, yang lebih memilih menyalahkan bayang-bayang daripada memperbaiki diri. Pertanyaan yang tersisa adalah: sampai kapan sinetron ini akan terus diputar, sementara keadilan dan kebenaran terus ditunda? (mda)
Surabaya, 03092025
Penulis: Malika Dwi Ana, Pengamat Sosial Politik.