Malang, SonaIndonesia.com – Sebuah video yang memperlihatkan aktivitas penarikan tarif di Jembatan Bendungan Lahor Karangkates, penghubung Kabupaten Malang dan Kabupaten Blitar, menjadi viral di media sosial dan memicu gelombang protes dari warganet. Dalam video itu tampak sejumlah petugas meminta tarif Rp2.000–Rp4.000 kepada pengguna kendaraan roda dua dan empat yang melintas di jembatan tersebut.
Banyak warganet menilai kebijakan ini tidak masuk akal, karena jembatan Lahor merupakan fasilitas publik milik negara, bukan area privat yang boleh dikenai pungutan. Perum Jasa Tirta I (PJT I) selaku pengelola Bendungan Lahor pastinya mengetahui perihal penarikan tarif tersebut.
Meskipun dapat dipandang sebagai bagian dari modernisasi pengelolaan kawasan wisata dan infrastruktur publik, sistem pembayaran non-tunai (e-toll) di Gerbang Wisata Karangkates, dengan klain akan meningkatkan transparansi pendapatan non-pajak dari sektor wisata air bendungan serta mengurangi praktik pungutan liar yang bisa muncul dari transaksi tunai, serta memudahkan pengawasan keuangan serta akuntabilitas pengelolaan aset publik, akantetapi belum cukup memberikan jawaban tentang rasionalisasi pemungutan terhadap masyarakat yang hanya hendak lewat jalan yang kebetulan melalui kawasan Bendungan Lahor.
Menanggapi polemik ini, Bupati LIRA Kabupaten Malang, Wiwid Tuhu P, SH., MH., menegaskan perlunya penjelasan publik dan transparansi dalam kebijakan pungutan tersebut.
“Secara prinsip, PJT I tidak memiliki nomenklatur usaha berupa jalan pintas atau jalan bebas hambatan berbayar. Maka perlu ada penjelasan publik: mengapa dikenai biaya, apakah dianggap wisata, bagaimana modal pembangunan dan perawatannya, serta ke mana dana masyarakat itu disalurkan,” ujar Wiwid.
Ia menambahkan, bila pungutan dilakukan dengan alasan yang jelas, transparan, dan memberi manfaat nyata bagi masyarakat, tentu publik akan memahami dan tidak mempermasalahkannya. Namun bila tidak, kebijakan semacam ini berpotensi menimbulkan polemik dan menurunkan kepercayaan Masyarakat terhadap pengelolaan aset negara.
“Yang paling penting adalah kejelasan sistem pertanggungjawaban dan informasi bagi masyarakat yang telah membayar. Jika semua dilakukan terbuka dan sesuai aturan, maka tidak akan ada kesalahpahaman,” tegasnya.
Secara hukum, pengelolaan Bendungan Lahor Karangkates berada di bawah Perum Jasa Tirta I (PJT I), BUMN yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 1990, dan diperbarui dengan PP Nomor 46 Tahun 2010.
Dalam regulasi tersebut, PJT I memiliki tanggung jawab utama dalam pengelolaan sumber daya air, serta diizinkan melakukan usaha non-air seperti pengelolaan pariwisata, jasa konsultansi, pelatihan, laboratorium lingkungan, dan penyediaan air minum dalam kemasan (AMDK).
Namun demikian, tidak ada nomenklatur dalam aturan tersebut yang menyebutkan bahwa PJT I dapat mengelola jalan tembus berbayar atau jalan penghubung dengan pungutan seperti tol.
Dari hal viral pungutan di jembatan Lahor Karangkates membuka kembali wacana pentingnya pengelolaan transparan dan akuntabel terhadap fasilitas publik. Pemerintah memang berkewajiban menyiapkan transformasi digital pembayaran non-tunai sebagai upaya menghapus pungutan manual dan memastikan setiap rupiah yang dibayarkan masyarakat akan kembali pada kepentingan publik, bukan kepentingan kelompok tertentu. (sps)





