Ancaman Disintegrasi: Dari Frustrasi ke Sentimen Regional

oleh -
oleh

Oleh: Malika Dwi Ana

“Mualem terlanjur kecewa bener.” Kalimat sederhana itu, yang beredar di grup WhatsApp dan percakapan pribadi warga Aceh pasca-banjir bandang Desember 2025, mencerminkan luka yang lebih dalam daripada sekadar kekecewaan atas lambatnya bantuan.

Mualem—Muzakir Manaf, tokoh eks-GAM yang kini Gubernur Aceh—telah menyuarakan kritik pedas terhadap respons pusat yang dianggap lamban dan kurang serius. Ucapannya bukan sekadar keluhan politisi, tapi cermin dari frustrasi kolektif masyarakat Aceh yang merasa kembali “dikhianati” oleh Jakarta.

Bencana yang menewaskan lebih dari 1.000 jiwa, menghilangkan ratusan orang, dan mengungsikan jutaan ini bukan hanya tragedi alam. Ia menjadi pemicu baru bagi sentimen regional yang selama ini tertahan pasca-perdamaian Helsinki 2005. Dari frustrasi atas banjir yang diperparah deforestasi masif, lambatnya logistik, hingga penolakan bantuan internasional, kekecewaan itu perlahan berubah menjadi pertanyaan mendasar: “Untuk apa tetap bersama negara yang tak peduli saat kami paling butuh?”

Frustrasi yang Menumpuk

Warga Aceh tak lupa betapa cepatnya respons dunia internasional pasca-tsunami 2004—bantuan mengalir deras, rekonstruksi masif, dan perjanjian damai Helsinki menyusul. Saat itu, Indonesia berhasil mengubah duka menjadi momentum integrasi yang lebih kuat. Kini, kontrasnya menyakitkan: meski empat bupati sudah menyatakan “menyerah, tidak mampu”, status bencana nasional baru ditetapkan belakangan. Logistik tertahan birokrasi, akses ke desa terisolasi lambat, dan ada kesan bahwa pusat lebih sibuk menjaga gengsi “kedaulatan” ketimbang menyelamatkan nyawa.

Mualem sendiri menyebut respons pusat “kurang cepat dan kurang masif”. Ia bukan satu-satunya. Mantan juru runding GAM, aktivis lokal, hingga warga biasa ramai-ramai menyuarakan hal serupa di media sosial dan forum tertutup. Narasi “Jawa-sentris” kembali mengemuka: SDA Aceh (gas, minyak, hutan) dikeruk habis-habisan, tapi saat bencana datang, bantuan datang terlambat.

Dari Frustrasi ke Sentimen Regional

Frustrasi ini bukan hal baru, tapi banjir 2025 menjadi katalisator. Di Aceh, ingatan kolektif atas konflik puluhan tahun lalu masih hidup. Banyak yang melihat pola yang sama: lahan dirusak untuk kepentingan korporasi besar (sawit, tambang), ekosistem hulu Bukit Barisan gundul akibat deforestasi jutaan hektare, dan ketika konsekuensinya datang—banjir bandang mematikan—dan pusat terlihat abai.

Sentimen “Aceh Merdeka” yang dulu redup pasca-MoU Helsinki kini muncul kembali, meski masih di tingkat obrolan dan postingan anonim. Bukan gerakan bersenjata seperti dulu, tapi erosi emosional yang pelan tapi pasti. Satu suara kecewa bisa menular dengan cepat, apalagi di era media sosial, amplifikasi semakin besar. Papua pun mengalami hal serupa: eksploitasi tambang dan food estate, konflik berkepanjangan, ditambah bencana ekologis—semua memperkuat rasa “kami hanya sapi perah Jakarta”.

Ancaman Nyata bagi Kesatuan Bangsa

Jika dibiarkan, frustrasi ini bisa berubah menjadi ancaman disintegrasi yang lebih serius. Bukan pemisahan wilayah secara militer, tapi pelepasan ikatan emosional rakyat perifer dengan negara. Kepercayaan adalah perekat utama NKRI. Saat kepercayaan runtuh—karena penanganan bencana lambat, eksploitasi SDA tak adil, dan ketidakpedulian berulang—maka fondasi bangsa goyah.

Ini bukan prediksi apokaliptik, tapi peringatan dari sejarah. Tsunami 2004 membuktikan bahwa respons cepat dan empati bisa memperkuat integrasi. Banjir 2025, sebaliknya, menunjukkan risiko sebaliknya.

Jalan Keluar: Reformasi, Bukan Sekadar Janji

Pemerintah pusat harus bertindak cepat dan konkret:

  • Percepat integrasi One Map Policy untuk hentikan tumpang tindih izin yang merusak ekosistem.
  • Moratorium izin ekstraktif di hulu DAS dan zona rawan bencana.
  • Transparansi dan pemerataan manfaat SDA, terutama di Aceh dan Papua.
  • Dialog nasional yang inklusif, bukan sekadar kunjungan performatif, apalagi pencitraan.

Mualem dan jutaan warga Aceh “terlanjur kecewa bener”. Tapi kekecewaan itu belum final. Masih ada waktu untuk mengubahnya menjadi momentum perbaikan—seperti 2004 dulu. Jika tidak, frustrasi hari ini bisa menjadi benih disintegrasi besok. NKRI harga mati, tapi hanya jika negara benar-benar hadir untuk semua anak bangsanya, terutama saat mereka sedang menderita.

Penulis: Pengamat Sosial dan Politik