![](https://i0.wp.com/www.sonaindonesia.com/wp-content/uploads/2021/06/opini-malika-dwi-ana.jpeg?resize=200%2C200&ssl=1)
Tanggung jawab terpenting dari seorang pemimpin negara adalah sebagai “penjaga konstitusi”. Dalam ketidaksempurnaan konstitusi dan kelembagaan yang ada, kepemimpinan kharismatik bisa menutupinya dengan kewibawaan moral. Dalam kaitan itu, Lyndon B. Johnson mengingatkan, “Tugas berat seorang presiden bukanlah mengerjakan apa yang benar, melainkan mengetahui apa yang benar.”
Untuk mengetahui apa yang benar, seorang Presiden harus menemukan panduan dari norma-norma fundamental. Bahwa praktik demokrasi harus disesuaikan dengan mandat konstitusi, karena pengertian ‘demokrasi konstitusional’ itu demokrasi yang tujuan ideologis dan teologisnya adalah pembentukan dan pemenuhan konstitusi.
Dan selaku presiden tugasnya melaksanakan seluruh amanat konstitusi (Pancasila dan UUD’45).
Setelah mengetahui apa yang benar, Presiden harus bisa bertindak benar dengan integritas moral yang tidak mudah goyah. “Sebagai presiden,” seru Abraham Lincoln, “Aku tak punya mata kecuali mata konstitusi. Dengan mata konstitusi, presiden bisa mengetahui apa yang benar. Dengan integritas moral, presiden bisa bertindak benar, yang bisa mewariskan standar dalam kehidupan republik. Bahwa hidup ini pendek, sedang kehidupan itu panjang. Maka, janganlah demi kepentingan penghidupan-kekuasaan jangka pendek, kepemimpinan mengorbankan prinsip-prinsip kehidupan untuk jangka panjang.”
Jadi, apa yang seharusnya diurus oleh negara –melalui pemerintah– saat ini?
Mungkin jawabnya adalah: penanganan Covid-19, pendidikan yang memadai untuk rakyat, kesenjangan sosial, lemahnya hukum, dan korupsi. Bukan amandemen konstitusi, apalagi hanya untuk memperpanjang masa jabatan politisi.
Jika berprestasi, rakyat tambah sejahtera, barangkali menjadi tidak terlalu dipermasalahkan, tidak apa-apa, seumur hidup juga mungkin rakyat akan rela dipimpin. Tetapi realitas yang terjadi, para pengambil kebijakan ini mentalitasnya pedagang dan makelar semuanya, di tangan mereka kekuasaan jadi rentan untuk diperjualbelikan.
Harusnya ada perasaan malu, prestasi pas-pasan tapi bicara perpanjangan masa jabatan?
Ekonomi stagnan, korupsi mengganas, utang menggunung, pandemi tak terkendali, terus minta nambah jatah kekuasaan??
Atau menggunakan wabah untuk lanjut berkuasa?
Logikanya terbalik, seharusnya bukannya diperpanjang karena alasan pandemi, tapi diperpendek karena pandemi. Sebabnya jelas, karena gagal dalam mengantisipasi covid yang menyebabkan 120.000-an jiwa meninggal dunia. Merasa diri tak mampu, ada perasaan malu telah gagal, bukan malah minta nambah jatah kekuasaan. Tenaga outsourcing saja ada batas masa kerjanya, mereka yang lima tahunan dan kerjanya ngga becus ya sudah sepantasnya diberhentikan atau lebih beretika jika memberhentikan diri sendiri alias mundur.
Dalam kondisi apapun dan bagaimanapun di negeri Indonesia, Pemilu mesti tetap berlangsung lima tahun sekali karena itu merupakan amanah konstitusi negara yang mesti dipelihara dari penyamun-penyamun politik.