Kebakaran Terra Drone: “Korsleting” yang Terlalu Sempurna di Tengah Perang Drone AS-China

oleh -
oleh

Oleh: Malika Dwi Ana

Gedung Cyber 1, Jalan Kuningan Barat, Jakarta Selatan (bukan Kemayoran), berubah menjadi neraka pada Selasa siang, 9 Desember 2025. Kantor PT Terra Drone Indoensia di lantai 11 hangus total. Korban jiwa mencapai 22 orang tewas dan lebih dari 70 luka-luka. Penyebab resmi menurut polisi dan Dinas Penanggulangan Kebakaran DKI: korsleting listrik pada panel AC yang memicu ledakan baterai lithium-ion ratusan drone. Kerugian materiil diperkirakan mencapai Rp400 miliar, belum termasuk data pemetaan strategis nasional yang lenyap seluruhnya.

Namun di balik kesimpulan “kecelakaan murni” itu, muncul pertanyaan besar: apakah ini benar-benar hanya nasib sial, atau justru operasi “pembakaran data” paling bersih dalam perang hibrida AS-China?

Terra Drone Bukan Perusahaan Biasa

Didirikan di Jepang tahun 2016, Terra Drone kini menjadi salah satu raksasa drone mapping dunia dengan operasi di 30 negara. Di Indonesia, mereka menjadi mitra andalan BUMN: Pertamina, PLN, Freeport Indonesia, hingga proyek tol Cisumdawu. Terra Drone Agri sejak 2021 memetakan jutaan hektare sawit di Sumatera bekerja sama dengan IFC (World Bank). Data yang mereka miliki bukan sekadar foto udara—melainkan peta 3D resolusi sentimeter lokasi tambang nikel Morowali, jalur pipa gas, zona ekonomi eksklusif Natuna, hingga posisi strategis Sabang dan Morotai.

Data seberharga itu, dalam satu gedung, tanpa backup off-site yang memadai.

Pola Kebakaran yang Sama, Korban yang Sama

Dalam tiga tahun terakhir, tiga perusahaan drone besar di Indonesia mengalami kebakaran dengan pola nyaris identik:

  • 2023: Kantor DJI Indonesia (berafiliasi China) di SCBD terbakar → data survei Laut Natuna hilang
  • 2024: Kantor Autel Robotics di Pantai Indah Kapuk ludes → data pemetaan Kalimantan Timur raib
  • 2025: Terra Drone Indonesia di Cyber 1 → seluruh data nasional lenyap

Semua dinyatakan “korsleting listrik”. Semua terjadi di tengah malam atau siang saat karyawan lengah. Semua menghanguskan hard disk dan server fisik—bukan cloud.

Timing kebakaran Terra Drone juga terlalu “tepat”: hanya 10 hari setelah Starlink resmi beroperasi di Aceh dengan kontrak Departemen Pertahanan AS senilai US$1,8 miliar, dan ketika China gencar memasarkan konstelasi satelit pengintai SpaceSail (rencana 648 satelit tahun 2025).

Siapa yang Diuntungkan?

Dua kekuatan besar mendapatkan keuntungan bersih dari musnahnya data Terra Drone:

  1. Amerika Serikat – tidak perlu lagi khawatir data pemetaan Natuna atau tambang Freeport bocor ke China.
  2. China – tidak perlu cemas drone “netral Jepang” ini terus memetakan proyek Belt and Road mereka untuk kepentingan Barat.

Hasilnya? Kedua pihak tetap “bersih” tanpa jejak, sementara Indonesia kehilangan aset intelijen ekonomi dan kedaulatan teritorial yang tak ternilai.

Bukan Kali Pertama

Pola data strategis terbakar sudah berulang:

  • 2018: Gudang data Blok Cepu BP Migas terbakar
  • 2021: Server data utang luar negeri Kemenkeu “terkena ransomware”
  • 2023–2025: Tiga perusahaan drone besar lenyap dalam api

Selalu sama: penyebab “korsleting”, bukti fisik musnah, kasus ditutup cepat.

Peringatan untuk Bangsa

Kebakaran Terra Drone harus menjadi lonceng kematian bagi kelengahan kita terhadap kedaulatan data. Investigasi independen yang melibatkan BSSN, BIN, dan Komisi I DPR wajib dilakukan. Seluruh aset pemetaan strategis harus disimpan dengan standar militer: multiple off-site backup terenkripsi, cold storage di bunker, dan audit berkala.

Jika tidak, besok bisa jadi data kependudukan, cadangan minyak di Cepu, atau peta instalasi pertahanan yang “korsleting”.

Di era perang senyap ini, api kecil di panel AC bisa membakar seluruh kedaulatan sebuah negara.

Malika Dwi Ana Pengamat Geopolitik Independen