Makna “INDONESIA” di Tengah Gelombang Internasionalisasi: Antara Pragmatisme dan Identitas

oleh -
oleh

Oleh: Malika Dwi Ana

Malika Dwi Ana

Kata “Indonesia” bukan sekadar nama di peta. Ia adalah jiwa perjuangan, simbol persatuan lebih dari 17.000 pulau dan 700 bahasa, serta pancaran kebanggaan yang dirajut oleh para pahlawan kemerdekaan. Namun, di tengah arus globalisasi, makna “Indonesia” kini diuji. Salah satu isu yang mencuat adalah kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang membuka peluang ekspatriat memimpin Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sebagaimana diungkap dalam Forbes Global CEO Conference 2025. Kebijakan ini memicu pertanyaan mendasar: apa artinya menjadi “Indonesia” ketika elemen-elemen kebangsaan kita mulai “diinternasionalisasi”?

Kebijakan Baru: Ekspatriat di Kursi Direksi BUMN

Dalam pidatonya, Prabowo dengan semangat menyatakan, “Saya sudah mengubah regulasinya. Sekarang ekspatriat, non-Indonesia bisa memimpin BUMN kita. Jadi saya sangat bersemangat.” Langkah ini ditindaklanjuti dengan revisi Undang-Undang BUMN melalui UU No. 16 Tahun 2025, yang mengubah UU No. 19 Tahun 2003. Pasal 15A Ayat (1) memang mensyaratkan direksi BUMN harus warga negara Indonesia (WNI), tetapi Ayat (3) memberikan pengecualian: Badan Pengaturan BUMN (BP BUMN) dapat menentukan lain, membuka pintu bagi warga negara asing (WNA) untuk menduduki posisi strategis.

Contoh nyata telah terlihat di PT Garuda Indonesia, yang pada 16 Oktober 2025 mengangkat dua direksi WNA, Balagopal Kunduvara dan Neil Raymond Mills, melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB). Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara, yang ditunjuk Prabowo untuk merancang susunan direksi BUMN bertaraf internasional, menegaskan prioritas tetap pada talenta lokal dan diaspora. Pandu Patria Sjahrir, CIO Danantara, menegaskan, “Kita tetap cari fokus putra-putri Indonesia yang terbaik, diaspora, baru nantinya (dari luar negeri).” Tujuannya jelas: menjadikan BUMN sebagai pemain global yang kompetitif, menarik investasi, dan menerapkan standar kelas dunia.

Bagi para penganut materialisme, langkah ini adalah jackpot. BUMN yang selama ini terbelit korupsi, inefisiensi, dan manajemen lemah bisa mendapat suntikan keahlian dari talenta global. Bayangkan Garuda Indonesia naik kelas seperti Singapore Airlines, atau Pertamina bersaing dengan raksasa energi dunia. Namun, kehidupan bukan hanya soal untung-rugi. Ada sesuatu yang lebih dalam: identitas dan kebanggaan sebagai bangsa.

Indonesia: Nama, Jiwa, dan Perjuangan

Kata “Indonesia” pertama kali muncul pada 1850-an dari pemikiran George Windsor Earl, menggabungkan “Indos” (merujuk Hindia) dan “Nesos” (pulau dalam bahasa Yunani). Namun, maknanya jauh melampaui asal-usul kolonial itu.

Bagi Soekarno, Indonesia adalah mimpi kemerdekaan, tempat rakyat menentukan nasib sendiri setelah ratusan tahun dijajah. Dalam pidatonya yang terkenal, Soekarno pernah berkata, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.” Kalimat ini bukan sekadar nostalgia; ia adalah pengingat bahwa identitas Indonesia dirajut oleh perjuangan untuk kedaulatan, termasuk kedaulatan ekonomi.

BUMN adalah salah satu pilar kedaulatan itu. Didirikan sebagai aset negara pasca-kolonial, BUMN seperti Garuda, Pertamina, atau PLN bukan sekadar perusahaan, melainkan simbol “kami bisa”. Namun ketika direksi BUMN diisi ekspatriat, meski dengan alasan kompetensi, ada perasaan bahwa burung Garuda kita kini dipimpin oleh “burung Condor”. Bagi sebagian, ini seperti menyewakan rumah sendiri kepada orang lain—efisien, mungkin, tetapi kehilangan rasa “homie—rumah”. Kehidupan kan bukan melulu soal untung-rugi, tapi juga tentang identitas dan kebanggaan atasnya.

Antara Globalisasi dan Akar Budaya

Jangan salah paham, internasionalisasi bukanlah musuh. Jepang pasca-Perang Dunia II mengundang ahli asing untuk membangun kembali ekonominya, tetapi tetap mempertahankan “wa” (harmoni budaya). Singapura mengimpor talenta global, tetapi identitas “Singapore Inc.” tetap kuat. Indonesia pun bisa belajar dari ini. Kebijakan Prabowo, dengan penekanan pada diaspora sebagai jembatan, bisa menjadi solusi hybrid, yakni mengambil keahlian global tanpa mengorbankan akar lokal. Diaspora Indonesia—yang telah terbukti sukses di panggung dunia—bisa membawa pulang keahlian tanpa menghilangkan rasa Indonesia.

Namun, ada garis tipis antara adaptasi dan erosi. Saat liga sepak bola kita dipenuhi pemain asing, startup unicorn dipimpin CEO ekspatriat, dan budaya pop dibanjiri pengaruh asing, “ke-Indonesia-an” perlahan menjadi “ke-global-an”. Jika tidak hati-hati, Indonesia bisa menjadi sekadar nama di peta—indah, tetapi kosong makna. Pertanyaan kritisnya adalah: kapan kita berhenti “menyewa” dan mulai berpikir “memiliki” kembali? Jawabannya mungkin terletak pada investasi besar-besaran untuk melatih talenta lokal, bukan menggantinya dengan yang dari luar.

Menjaga Jiwa Indonesia

Soekarno pernah mengingatkan bahwa kemerdekaan bukan sekadar bebas dari penjajahan, tetapi juga tentang martabat bangsa. Membuka pintu untuk ekspatriat di BUMN bisa menjadi booster untuk daya saing, tetapi tanpa strategi yang menjaga identitas, sangat berisiko kehilangan jiwa “Indonesia”. Langkah ke depan bukanlah menolak globalisasi, melainkan memanfaatkannya dengan cerdas: prioritaskan talenta lokal, libatkan diaspora, dan gunakan keahlian asing sebagai katalisator, bukan pengganti.

Makna “Indonesia” adalah pilihan kita hari ini. Apakah kita ingin menjadi bangsa yang adaptif namun tetap berakar, atau sekadar pemain di panggung global yang lupa dari mana ia berasal? Seperti kata Soekarno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.” Pahlawan kita berjuang untuk kedaulatan; sekarang, tugas kita adalah memastikan kedaulatan itu tetap hidup dan terjaga—di BUMN, di hati, dan di masa depan.

(Malika’s Insight, 21/102025)

Penulis: Malika Dwi Ana, Pengamat Sosial Politik.