Mau ngomongin jati diri gak perlu muluk-muluk soal balik ke ajaran asal, atau balik pada keyakinan soal titisan dan trah-trah para raja di masa lalu. Kembali ke asal muasal jati diri adalah perjalanan ke masa lalu, yang tidak menghidupkan semangat monarkistis, yang narsis dan ambisius terhadap kekuasaan untuk kemudian meng-korupnya habis-habisan. Feodalisme tidak akan menghasilkan peradaban agung. Sharing the same sun as we share the same resources is the key toward social justice, masyarakat yang menuju KEADILAN SOSIAL, bukan masyarakat yang mabuk dan kesurupan Ruh Kekuasaan, atau berambisi untuk mengambilnya untuk alasan yang lebih jahat dan korup lagi.
Dari pada kodran-kadrun melulu, nyalah-nyalahin pendatang Arab, sambil meratap-ratap soal penjajahan peradaban, sekarang ganti ngomongin paradigma pembangunan desa. Turunlah ke desa, satu-satunya tempat yang selamat dari pandemi, kembali ke kampung lagi, kota sudah terbukti penuh, banyak yang kehilangan pekerjaan, kehilangan penghidupan, akses ekonomi, serta ruang gerak menjadi semakin sulit. Kembali ke desa sembari merajut Bhineka Tunggal Ika tepat di jantung nya Indonesia. Lebih berdaya guna ketimbang menyalahkan apa yang sudah menjadi kehendak sejarah.
Kembali saja ke tanah-tanah pertanian, kebun dan persawahan serta lautan. Itu yang sesungguhnya menjadi penciri khas bangsa ini. Budaya Melayu adalah budaya dengan latar belakang dasar agraris tanam padi. Hingga kita mengerti arti kata Sri itu adalah beras. Jaya adalah menang. Emas Sriwijaya itu bukan Gold tetapi Rice alias Padi.
Ciri khas bangsa bukanlah pada industri dan pabrik. Gegayaan sok jadi negara industri, pengen jadi produsen barang-barang industri nyatanya cuman tempat doang yang dipakai, tenaga kerja (buruh) juga dibayar murah. Pajak belum tentu juga tertib pembayaran, ada yang ngemplang gak bayar pajak puluhan tahun, kaya raya dan makmur hidupnya, lalu seenaknya mainin harga migor pula. Dan sialnya, sudah dieksplorasi sumber daya alamnya, dieksploitasi rakyatnya, masih ketiban sial kudu jadi tempat sampah pembuangan limbah pabrik. Sedang pabriknya tetep milik asing. Yang kaya juga tetep Taipan. Mengoperasikan bisnis dari Singapura, pabriknya ada di sini. Sudah sedemikian besar daya rusaknya, anehnya tak satupun bucin rezim menyalahkan gerombolan orang kaya yang kebetulan pendatang dari negeri Tirai Bambu.
Gitu gak ada kapok-kapoknya 76 tahun konon merdeka selalu bermimpi jadi seperti orang asing, seneng ikut-ikutan, gak punya pendirian dan kepribadian. Seneng meniru, negara maju bisa bikin mobil, kita sok-sokan mau ikutan bikin, ternyata lagi-lagi hasilnya ajaib, bisa ngilang, jadi barang goib, padahal mau bagaimana pun teknologi kita tetap jauh tertinggal.gunan
Mending fokus pada potensi yang sudah kita punya; pertanian dan kelautan. Sudah fokus saja di dua bidang itu, karena persoalan ke depan adalah kelangkaan pangan selain energi dan air (trilogi: pangan, air dan energi). RICE is gold, adalah hal yang harus dapat dilakukan oleh bangsa dengan memposisikan Farming As Golden And Leading Sector. Petani full disubsidi oleh pemerintah; padat karya, padat kerja, dan padat teknologi; gotong royong.
Harta kita sesungguhnya adalah peradaban pada sumber daya manusia, dan pada karakter kejiwaannya. Keluarkan kebijakan yang berpihak pada petani dan pertanian, untuk mempermudah pekerjaan mereka, berikan sarana dan prasarana yang cukup, pupuk murah, permudah petani menjual hasil pertaniannya, permudah akses informasi, promote para generasi mudanya agar menyukai pekerjaan sebagai petani, agar betah tinggal di kampung halaman. Jangan pula gusur tanah-tanah warga, tanah-tanah ulayat yang turun temurun jadi tanah pertanian, demi para Taipan dan oligarki.
Sudah dipakai buang limbah gratis, dapet tenaga kerja murah, masih juga disuruh konsumtif beli barang-barang dari luar. Yang makin kaya ya tetep asing pemilik modal, lalu kita bangga sebagai jongosnya? Yang begini mau diterus-terusin? (mda)
Kopi_kir sendirilah!
Penulis: Malika Dwi Ana, Social Politic Enthusiast, Freelance Writer.