OPINI: Salah Kaprah Tentang “Idulfitri”

Malika Dwi Ana

Orang yang berpuasa akan mendapat dua kegembiraan. Apabila berbuka ia merasa gembira (idza afthara fariha). Dan apabila bertemu dengan Allah, ia gembira pula karena puasanya (wa idza laqiya rabbahu fariha bishoumihi). 

Hakikat puasa adalah Imsak atau Menahan Diri atau Ngêmpêt. Menahan dari apa? Menahan dari keinginan-keinginan yang mengepung diri semenjak bangun tidur hingga menjelang tidur. Keinginan-keinginan itu bukan dihilangkan, melainkan untuk dididik, 13 jam sehari, ada yang 16, 18, bahkan 22 jam sehari berpuasa.

Bacaan Lainnya

Keinginan apakah yang harus dididik? Ya keinginan makan, minum, ML, ingin ini ingin itu banyak sekali. Menahan amarah bagi yang mudah marah, menahan ghibah buat yang seneng ghibah, dan sebagainya. Secara individual, puasa menahan kebiasaan buruk masing-masing individu. Mudah marah, benci, memaki, iri dengki, serakah dan pendendam juga kecewa. Jika dalam bahasa agama, manusia dikenai sifat-sifat amarah, luwamah dan muthmainah

Puasa bisa menyadarkan bahwa perbuatan buruk dan atau perbuatan akibat dorongan nafsu memang tidak baik bagi manusia. Sebelum buka puasa keinginan makan ini makan itu, minum ini minum itu luar biasa besarnya, kemaruk terus semuanya dibeli dan dicari, semua kayak pengen dimakan, bal geduwal kabeh pengene diuntal…. Pas buka puasa, minum segelas air dan sedikit cemilan sudah kenyang ternyata. Puasa juga bisa mengingatkan dan menyadarkan bahwa manusia adalah makhluk yang tidak pernah puas.

Maka (berbuka) puasa mengingatkan kita akan perbedaan kebutuhan dengan keinginan. Banyaknya keinginan menjadikan sumber penderitaan. Manusia menderita lebih banyak disebabkan karena mengejar keinginannya, bukan sekadar memenuhi kebutuhannya.

“Puasa adalah pekerjaan menahan di tengah kebiasaan menumpahkan, atau mengendalikan di tengah tradisi melampiaskan.” — mengutip Cak Nun.

Saat Magrib tiba, orang yang berpuasa melakukan aktivitas makan minum dan lain-lain yang disebut berbuka puasa.

Kenapa disebut berbuka?

Pertama, bahasa Arab untuk aktivitas berbuka puasa adalah “al-ifthar”. “Al-ifthar” berasal dari akar kata “fathara-yafthuru-fathr”, yang arti dasarnya “qatha’a” (memotong).

Dalam Mu’jam al-Lughah al-Arabiyyah al-Mu’ashirah halaman 1721 (jilid 3) disebutkan: Afthara al-rajul atau fathara al-shaim, artinya qatha’a shiyamahu bi tanawaul al-tha’am wa al-syarab (“memotong” puasa menggunakan makanan atau minuman yang lazim disini disebut “mokel” atau “mothel“).

Dalam berbuka puasa, kita “memotong” atau “mokel” atau di kampung saya ngomongnya “mothel” puasa. Memotong aktivitas menahan makan, memotong aktivitas menahan minum, dan memotong aktivitas menahan hubungan intim. Semua larangan saat siang di bulan Ramadan itu “dipotong” menjadi boleh dilakukan saat magrib tiba hingga imsyak.

Dalam surah Al-Infithar ayat pertama Allah berfirman: Idza al-sama’u infatharat. Apabila langit terbelah. Infatharat artinya insyaqqat. Dalam “berbuka puasa”, kita “membelah” puasa. Fathara-yafthuru-fathr juga memiliki arti dasar “syaqqa” (membelah atau merobek). Ya anggaplah misal aktivitas puasa adalah buah durian. Cara membuka durian adalah dengan membelahnya tentu saja. Atau misal aktivitas puasa dianalogikan sebagai kado, maka buka puasa juga bisa disebut “merobek” puasa. Karena cara membuka kado adalah dengan merobek bungkusnya.

Lalu ada efek “terbuka” dalam tindakan membelah dan merobek. Terkandung makna “buka” dalam “al-ifthar”. Maka, tepat jika al-ifthar diterjemahkan sebagai “buka puasa”.

Kedua, sebagaimana dalam Lisan al-‘Arab. Dalam kamus Lisan al-‘Arab ditema fa-tha-ra, Ibnu al-Mandzur menulis: minhu ukhidza “fithr al-shaim” liannahu yaftahu fahu. Dari “fathara” yang bermakna “syaqqa”(membelah; merobek) itulah muncul kata “fithr al-shaim” atau hidangan orang yang berpuasa saat Magrib tiba. Sebab, saat Magrib tiba, orang berpuasa akan “membuka mulutnya untuk memasukkan hidangan”. Ketika waktu magrib tiba, orang berpuasa membatalkan puasanya dengan makan atau minum, dan saat makan atau minum itulah, tentu saja, ia harus membuka mulutnya.

Begitulah istilah khas Indonesia “buka puasa” menemukan asal-usulnya. Disebut “buka puasa” sebab pada saat berbuka puasa, orang harus membuka mulutnya untuk makan dan minum. Maka, arti “buka puasa” adalah membuka mulut untuk membatalkan puasa dengan cara memasukkan makanan atau minuman. Ajjala, yu’ajjilu, ta’jilan = segerakan buka | afthara, yufthiru, ifthoron = silakan mokel. Maka ada makanan dan minuman untuk berbuka yang disebut ta’jil, kue-kue, kolak, kacang ijo, biji salak, gorengan, atau makanan kecil lainnya.

Di akhir Ramadan, akhirnya kita bertemu dengan Idulfitri. Yang asal katanya seperti telah dijelaskan di atas, dari kata afthara – yufthiru [arab: أفطر – يفطر], yang artinya berbuka atau tidak lagi berpuasa. Disebut Idulfitri, karena hari raya ini dirayakan bersamaan dengan selesainya kaum muslimin menjalankan puasa bulan Ramadan. Maka Idulfitri adalah perayaan selesainya puasa dengan berbuka (makan, minum dan lain-lain). Merujuk pendapat di atas, Fitri itu TIDAK sama dengan Fitrah. Fitri dan Fitrah adalah dua kata yang berbeda. Beda dalam arti dan penggunaannya. Namun, mengingat cara pengucapannya yang hampir sama, banyak masyarakat Indonesia menyangka bahwa itu dua kata yang sama.

Kata Fitrah disebutkan dalam Al-Quran, QS. Ar-Rum: 30:
“Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.”

Dengan demikian, setiap manusia yang dilahirkan, dia dalam keadaan fitrah, suci dan bersih. Karena telah mengenal Allah sebagai Tuhannya. Alastu birabbikum qolu bala syahidna….“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” dan dijawab : “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi”.

Sepotong ayat dari QS. Al-A’raf: 172 ini adalah janji setiap manusia sebelum dilahirkan ke dunia. Kesaksian kepada Sang Pencipta. Janji, bahwa kita mengakui Allah SWT adalah Tuhan, janji bahwa akan melaksanakan perintahNya, dan menjauhi laranganNya, taat dan patuh hanya kepadaNya.

Nah kesalahan pemaknaan di hampir seluruh lapisan masyarakat itu menganggap Idulfitri diartikan sebagai kembali suci. Setelah menyelesaikan ibadah puasa selama bulan Ramadan, pada saat Idulfitri dianggap telah kembali suci, bersih dari semua dosa. Lalu diikuti dengan bermaafan. Sehingga usai hari raya, menganggap diri layaknya bayi yang baru dilahirkan, suci bersih dari semua dosa. Turunan dari pemaknaan ini, sebagian masyarakat sering menyebut tanggal 1 Syawal dengan ungkapan ‘Hari Yang Fitri’.

Demikianlah….maka sekali lagi, Idulfitri bermakna BERBUKA, atau TIDAK BERPUASA. Dan doa terbaik adalah TAQABBALLAHU MINNA WA MINKUM SHIYAMANA WA SHIYAMUKUM, SEMOGA ALLAH MENERIMA AMAL DAN PUASA KAMI DAN KALIAN….aamiin. (mda) 

Penulis: Malika Dwi Ana, Social Politic Ethoscience Enthusiast.