REBRANDING PROJO: PELARIAN BUDI ARIE DARI BAYANG-BAYANG JOKOWI KE PELUKAN GERINDRA

oleh -
oleh
Poster Kongres III Projo

Oleh: Malika Dwi Ana

Kongres III Projo yang digelar 1-2 November di Hotel Grand Sahid Jaya bukan sekadar reuni relawan. Ini adalah deklarasi perang bertahan hidup di politik. Di hadapan 3.000 kader yang bertepuk tangan aklamasi, Budi Arie Setiadi—Ketua Umum terpilih kembali untuk 2025-2030—melempar narasi baru: Projo bukan “Pro Jokowi”, melainkan “kaum negeri dan rakyat” dari bahasa Sanskerta dan Jawa Kawi. Logo ikonik dengan siluet wajah Jokowi? Segera diganti, katanya, agar “tidak terkesan kultus individu”. Puncak drama: Budi mengumumkan rencana bergabung ke Gerindra. “Saya satu-satunya yang diminta langsung oleh Presiden Prabowo,” ujarnya, seolah ini undangan dari langit.

Ironi pahit. Projo lahir tahun 2013 sebagai mesin relawan PDI-P yang fanatik mendukung Jokowi-Jusuf Kalla. Logo mereka adalah monumen kultus: wajah Jokowi terpampang di spanduk, stiker, dan rapat-rapat akbar. “Pro Jokowi” bukan ciptaan media, tapi DNA organisasi yang dibangun atas loyalitas buta. Kini, pasca-Jokowi pensiun dan era Prabowo dimulai, Budi tiba-tiba ingat kamus bahasa Sansekerta? Ini bukan transformasi—ini amnesia politik kelas kakap. Publik langsung menghajar: “Projo itu dari ‘Pro Jokowi’, bukan pamong projo. Budi ngawur asal jeplak.” Yang lain lebih tajam: “Sudah ketularan Mulyono, suka bohong. Judol aja gak diberantas, malah dipelihara karena dapet duit dari bandar.”

Etimologi “projo” mungkin ada di teks Jawa kuno, tapi konteks Projo adalah Jokowi—titik! Mengklaim sebaliknya hanyalah trik murahan untuk mencuci citra, seolah organisasi ini tak pernah jadi perpanjangan tangan presiden ke-7. Ganti logo sekarang? Terlambat dan munafik. Selama satu dekade, wajah Jokowi jadi simbol kebanggaan. Diganti saat Jokowi tak lagi berkuasa? Ini bukan de-Jokowinisasi—ini pembuangan sampah politik.

Pengumuman gabung Gerindra lebih gelap lagi. Budi bilang ini untuk “mengawal program strategis Prabowo-Gibran” seperti Makan Bergizi Gratis. Tapi mari kita jujur: ini jelas pelarian. Ingat kasus judi online? Saat jadi Menkominfo (2023-2024), nama Budi terseret dakwaan pemblokiran situs judol: disebut dapat jatah 50% “perlindungan” dari bandar. Meski belum terbukti, tapi Kejagung masih menyelidiki. PDIP lapor balik ke Bareskrim, tuding Budi dalang isu judol. Pasca-reshuffle September 2025 yang mencopotnya dari Menkop, Budi butuh tameng. Gerindra—partai penguasa—adalah bunker sempurna. Sufmi Dasco Ahmad hadir di kongres, sambut hangat: “Kami siap tampung aspirasi dari manapun.” Analis Dedi Kurnia Syah dari IPO blak-blakan: “Bukan ideologi, tapi realistis. Budi butuh perlindungan hukum yang hanya partai penguasa bisa beri.”

Lalu ada agenda besar: dua periode Prabowo-Gibran. Projo sudah komitmen sejak Pilpres 2024. Jokowi sendiri perintah relawan: “Lima tahun terlalu singkat.” Wakil Ketum Fredy Damanik ulang di kongres: “Kami kawal keberlanjutan.” Tapi resolusi hanya sebut “Prabowo” untuk 2029—tanpa Gibran. Sinyal apa? Fleksibilitas, atau strategi halus menuju amandemen UUD? Dengan basis relawan di 35 provinsi, Projo bisa jadi mesin amunisi politik di Gerindra—bukan sekadar pendukung, tapi pengambil alih pengaruh dari dalam alias kuda Troya.

Ini bukanlah akhir kultus Jokowi. Ini kelahiran kultus baru: dari bayangan Jokowi yang “sudah tak kuat” ke pelukan Prabowo yang berkuasa. Budi Arie mungkin selamat sementara, tapi Projo? Citranya remuk. Seorang netizen merangkum: “Jidat lebar, nalar bebal, muka tebal—itulah maqom Budi Arie.”

Kongres III Projo adalah sandiwara politik khas Indonesia: relawan jadi proxy, idealisme jadi kalkulasi, loyalitas jadi komoditas. Rakyat bukan lagi tujuan—mereka hanya penonton yang dibius janji untuk “negeri dan rakyat”. Saatnya bertanya: apakah ini demokrasi, atau sekadar permainan kursi para oportunis?

(Malika’s Insight 03/11/2025)

Penulis : Pemerhati Sosial