Oleh: Malika Dwi Ana
Jakarta, SonaIndonesia.com – Rumor mengejutkan kembali mengguncang jagat politik Indonesia: mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebut-sebut akan kembali maju sebagai calon presiden pada Pilpres 2029, berduet dengan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka sebagai wakilnya. Isu ini, yang beredar luas di media sosial dan kalangan politik, dikemas sebagai bentuk “kelanjutan legacy kepemimpinan Jokowi-Gibran”. Namun, hingga saat ini, tidak ada satu pun pernyataan resmi dari Ahmad Ali, Ketua Harian PSI, apalagi dari Jokowi atau Gibran sendiri, yang mendukung rumor ini. Yang jauh lebih mengkhawatirkan: rumor ini membuka pintu lebar-lebar bagi pengulangan manipulasi konstitusi—seperti yang terjadi saat Gibran dimajukan sebagai cawapres pada 2023 lalu—dan bahkan skenario amandemen UUD 1945 untuk menghapus batas periode presiden.
Rumor ini muncul dari spekulasi di internal Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang baru saja direvitalisasi oleh Ahmad Ali setelah ia bergabung pada September 2025. Dalam berbagai wawancara dan pertemuan internal, Ahmad Ali hanya menegaskan satu hal: PSI akan menjadi mitra setia pemerintahan Prabowo-Gibran hingga 2034, sesuai arahan Jokowi saat bertemu di Solo. Belum ada statemen tentang “duet balik”, apalagi Jokowi kembali jadi capres. Namun, justru karena tidak ada dasar resmi, rumor ini semakin liar—dan semakin berbahaya.
Pola yang digunakan untuk membayangkan skenario ini persis sama dengan pola yang berhasil “menaikkan” Gibran tiga tahun lalu. Pada Oktober 2023, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan No. 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah syarat usia cawapres dari 40 tahun menjadi “pernah menjabat sebagai kepala daerah”. Putusan ini, yang dipimpin oleh Anwar Usman—ipar Jokowi—langsung membuka jalan bagi Gibran (saat itu 36 tahun) untuk mendampingi Prabowo. MK tidak lagi bertindak sebagai penafsir konstitusi, melainkan sebagai pembuat hukum baru, dan ini melanggar Pasal 24C UUD 1945. Akibatnya, Anwar Usman dicopot dari jabatan Ketua MK karena pelanggaran etik berat. Dan Gibran distigma sebagai anak haram konstitusi.
Kini, logika yang sama nampaknya akan diterapkan pada Jokowi. Pasal 7 UUD 1945 dengan tegas menyatakan: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.” Artinya, Jokowi—yang sudah menjabat dua periode (2014–2019 dan 2019–2024)—secara konstitusional dilarang maju lagi. Namun, seperti kasus Gibran, larangan ini bisa “dilenyapkan” melalui dua jalur:
Pertama, amandemen UUD 1945 untuk menghapus batas dua periode. Jalur ini membutuhkan dukungan dua pertiga anggota MPR—yang saat ini didominasi Koalisi Indonesia Maju (KIM). Dengan narasi “stabilitas pembangunan” dan “legacy Jokowi”, rezim bisa mendorong fraksi-fraksi koalisi untuk setuju. Jokowi sendiri, pada Februari 2025, telah secara terbuka mendukung Prabowo-Gibran lanjut hingga 2034, yang menjadi pijakan moral untuk mendorong amandemen lebih jauh.
Kedua, intervensi MK lagi. Jika amandemen gagal, MK bisa mengeluarkan putusan baru yang “mentafsirkan” Pasal 7 secara kreatif—misalnya, bahwa batas periode hanya berlaku “dalam kondisi normal” atau “tidak mengikat jika ada kebutuhan nasional”. Presedennya sudah ada: pada 2025, MK menghapus presidential threshold, membuka jalan calon independen. Independensi MK yang sudah dipertanyakan—terutama setelah kasus Anwar Usman—membuat skenario ini sangat mungkin terjadi.
Jika berhasil, implikasinya mengerikan. Jokowi bisa maju lagi di 2029 (usia 68 tahun), menang, lalu memerintah hingga 2034. Pada 2034, Gibran—yang saat itu baru 47 tahun—bisa naik menjadi presiden, berkuasa hingga 2044. Artinya, satu keluarga menguasai kekuasaan eksekutif selama 30 tahun berturut-turut (2014–2044). Ini bukan lagi politik dinasti—ini adalah rezim kepalsuan yang diperpanjang melalui rekayasa konstitusi.
Reaksi publik terbelah. Di satu sisi, pendukung Jokowi dan PSI di kalangan pemuda urban melihat ini sebagai “kelanjutan legacy infrastruktur dan stabilitas ekonomi”. Mereka berargumen: “Kalau rakyat setuju, kenapa tidak?” Di sisi lain, kritik keras datang dari akademisi, aktivis, dan oposisi. Mereka menyebut ini sebagai pengulangan kecelakaan sejarah 2023 dengan skala lebih besar: MK kembali jadi alat, konstitusi diinjak-injak, dan demokrasi diganti dengan monarki elektoral. Laporan Economist Intelligence Unit (EIU) Maret 2025 bahkan sudah memperingatkan: Indonesia mengalami kemunduran demokrasi terburuk sejak Reformasi 1998, ditandai oleh konsolidasi kekuasaan eksekutif, dinasti politik, dan pengebirian lembaga yudisial.
PSI, yang gagal lolos parlemen pada 2024, kini menargetkan kursi di 2029. Mereka membutuhkan kendaraan politik baru—bisa jadi partai berbasis BUMN atau “partai super Tbk”—untuk mengusung Gibran secara independen. Jika PSI lolos, dan MK menghapus batas periode, maka duet Jokowi-Gibran bukan lagi rumor—melainkan blueprint kekuasaan abadi.
Isu ijazah palsu Jokowi dan Gibran yang masih diproses Polda Metro Jaya menjadi bom waktu tambahan. Jika kasus ini meledak di tengah kampanye 2029, legitimasi duet ini akan runtuh. Tapi, jika rezim berhasil mengamankan MK dan MPR, hukum bisa kembali dibengkokkan—seperti yang sudah terbukti.
Pilpres 2029 belum dimulai, tapi pertarungan sudah jelas: bukan lagi antara program, melainkan antara konstitusi dan ambisi. Apakah UUD 1945 akan tetap menjadi fondasi negara hukum, atau akan diubah demi satu keluarga? Apakah rakyat akan diam saat demokrasi direkayasa melalui putusan malam dan rapat tertutup?
Rumor duet Jokowi-Gibran bukan lelucon politik. Ini adalah peringatan dini akan ancaman nyata terhadap konstitusi. Dan jika tidak ada penjagaan ketat dari masyarakat sipil, sejarah 2023 akan terulang—kali ini, dengan taruhan yang jauh lebih besar.
(Malika’s Insight 26/10/2025)
Penulis : Malika Dwi Ana – Pemerhati Sosial










