WHOOSH BUKAN UNTUNG, TAPI BUNTUNG: MEGAPROYEK YANG DIPAKSA LARI KE SURABAYA

oleh -
oleh

Jakarta-Bandung saja sudah jadi monumen pemborosan: biaya membengkak dari Rp59 triliun ke Rp114 triliun, utang China menumpuk, tiket sepi, dan kini pemerintah berani-beraninya menggembar-gemborkan perpanjangan ke Surabaya. Ini bukan visi, ini kelanjutan dari sindrom “besar-besaran dulu, tanggung jawab belakangan.” Dan yang paling mengerikan: semua orang tahu risikonya, tapi tetap ngotot mewujudkan ambisinya.

Prabowo Subianto, presiden baru yang baru saja dilantik, langsung memberikan mandat khusus: Whoosh harus sampai Surabaya. Bukan sekadar pernyataan politik, ini instruksi operasional yang langsung direspons Agus Harimurti Yudhoyono—Menko Infrastruktur yang baru—dengan membentuk satgas khusus. Satgas apa? Satgas menyelamatkan muka dari jebakan utang warisan Jokowi. Tapi jangan salah, AHY bukan korban. Dia justru jadi eksekutor utama dari agenda yang sama: membangun kemegahan, meski dompet negara sudah bolong. Utangnya ya “megah-i tenan!

Luhut Binsar Pandjaitan, sang koordinator investasi yang tak pernah lelah mempromosikan proyek China, kembali berbicara manis: “Lebih hemat dari Jakarta-Bandung.” Hemat dyasmuuu ! Kata siapa? Biaya per kilometer Whoosh fase pertama adalah yang termahal di dunia. Dan sekarang, dengan pengalaman pahit itu, Luhut malah menawarkan “versi hemat” ke Surabaya. Ini bukan logika, ini propaganda!

Di belakang layar, Erick Thohir—menteri BUMN yang dulu ikut menandatangani kontrak bermasalah—kini sibuk menyusun regulasi baru agar proyek lanjutan punya payung hukum. Payung untuk siapa? Untuk KCIC yang sudah terjerat utang, untuk China yang menunggu cicilan, dan untuk para pejabat yang ingin nama mereka tercantum di plakat peresmian.

Dan jangan lupa Rosan Roeslani, bos Danantara—entitas baru yang dibentuk untuk “membersihkan” utang BUMN. Dia bicara soal “harmonisasi” dan “restrukturisasi.” Tapi semua orang tahu: harmonisasi itu artinya Indonesia harus menelan lebih banyak utang agar China mau “memaafkan” sebagian bunga. Syaratnya? Lanjutkan proyek ke Surabaya. Ini bukan negosiasi, ini pemerasan berbungkus diplomasi.

Kontrak aslinya? Ditandatangani di Beijing tahun 2017, disaksikan langsung Jokowi dan Xi Jinping. Pihak Indonesia: perwakilan KCIC, didukung Kementerian BUMN era Rini Soemarno, dengan Luhut sebagai pengawal setia. Mereka meneken pinjaman USD 5,5 miliar dari China Development Bank dan Eksim Bank. Hari ini, utang itu sudah membengkak, cost overrun Rp18 triliun ditanggung APBN, dan penumpang Whoosh masih jauh dari target. Tapi bukannya evaluasi, malah ekspansi. Gimana ya cara berpikirnya, seneng kok jatuh ke jebakan yang sama.

Sekarang, rencana ke Surabaya masih di tahap kajian—dengan dua opsi rute: via Cirebon atau Tasikmalaya. Target operasi? 2029 untuk segmen Jogja-Solo dulu. Tapi kajian ini bukan kajian kelayakan, ini kajian politik. China sudah menyatakan: utang Whoosh direstrukturisasi kalau proyek lanjut. Artinya: Indonesia harus menggali lubang lebih dalam untuk menutup lubang lama.

Ini bukan soal kereta cepat. Ini soal siapa yang berani bilang “TIDAK” kepada proyek gagal yang sudah terlanjur dijual sebagai kebanggaan nasional. Semua pejabat yang kini ngotot—Prabowo, AHY, Luhut, Erick, Dudung—harus dicatat namanya. Bukan untuk dipuji, tapi untuk diingat. Karena kalau nanti Whoosh ke Surabaya jadi “buntung jilid 2,” mereka tidak boleh lari dari tanggung jawab dengan alasan “sudah busuk dari dulu.”

Mereka yang memaksakan, merekalah yang harus membayar—politically, financially, historically. Dan rakyat? seperti biasa, akan jadi penumpang yang dipaksa bayar tiket mahal di kereta yang salah jalur. Hasembuh !!

Penulis : Malika Dwi Ana – Pemerhati Sosial