Maling Ikan Dalam Kawalan Militer Cina

Malika Dwi Ana

Perang Malvinas terjadi tahun 1982. Argentina baru bisa membalas rasa malu akibat kalah perang ini di arena Piala Dunia 1986 lewat gol “Tangan Tuhan” Maradona. Seorang Maradona, dengan bakat ajaibnya lumayan bisa mengobati rasa malu  Argentina.

Seandainya Cina keukeuh masih main kapal-kapalan di Laut Natuna apa kira-kira respons Indonesia? 

Bacaan Lainnya

Perlu diingat, Indonesia tidak punya Maradona. Indonesia hanya (pernah?) punya Tokopedia dan Bukalapak. Penggelontor utama serbuan barang-barang Cina masuk sampai ke pedalaman Nusantara.

Prolog di atas hanyalah analogi kecil betapa satu masalah utama dalam diskursus keamanan itu adalah mengidentifikasi masalah. Sama seperti digital, bicara pertahanan teritorial, saya terbawa bingung pada fase awal – mengidentifikasi ancaman. 

Lha gimana, hari gini mereka bicaranya “lawan penjajah.”

Dalam dua puluh tahun terakhir, aspirasi Cina di LCS (Laut Cina Selatan) bergerak dari retorika menjadi dominasi total. Cina membuat pulau buatan, berikut juga pangkalan udara di sana.

Strateginya komprehensif dan multidomain: laut, udara, dan elektronik. Keren kan! Pantesan Menhan sempat memuji kehebatan militer Cina.

Jadi soal kapal ikan itu cuma mainan kecil dari sebuah mesin raksasa adidaya (superpower) Cina.

Ada beberapa skenario yang sering dibahas. Yang paling jelas adalah perkara nelayan asing yang mencuri ikan. 

Tentu bukan bicara satu dua kapal yang bandel, Cina punya armada ratusan, bahkan ribuan kapal yang bergerak sebagai paramiliter maritim. Di LCS pertumbuhannya sangat luar biasa.

Arah dan eksekusinya jelas: LCS itu dianggap wilayah Cina dan seluruh periferalnya merupakan wilayah keamanan nasional Tiongkok. Aspirasinya jelas, doktrinnya juga eksplisit. Poinnya di sini, bukan Indonesia perang sama Cina. Ini bukan bicara penjajahan. 

Tapi dengan skala demikian besar dan bersentuhan langsung, kalau Cina perang sama negara lain, di mana posisi Indonesia dalam menjaga kedaulatan teritorinya?