Jadilah Warganet Cerdas, Jangan Mudah Sebarkan Hoaks

Kurang lebih 100 orang mahasiswa, pegiat media sosial, warganet, dan aktivis di Malang, Jawa Timur mengikuti pelatihan menangkal kabar bohong atau hoaks. (Foto: sonaindonesia.com/an)

Malang, SonaIndonesia.com – Sekitar 100-an mahasiswa, pegiat media sosial, warganet, dan aktivis di Malang, Jawa Timur berlatih menangkal kabar bohong atau hoaks. Mereka mengikuti Halfday Basics Workshop Hoax Busting and Digital Hygiene. Acara ini diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen, Internews, dan Google News Initiative.

Ketua program doktoral Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya Bambang D. Prasetyo menjelaskan hoaks menyebar dan berkelindan di media sosial setiap hari. Era banjir informasi, warganet harus cerdas memilih media dan memilah informasi.

“Polisi era sekarang tak harus gagah, tapi juga memiliki intelektualitas,” katanya. Sehingga penting polisi untuk mengawasi dan penindakan hukum. Jika tahu informasi yang diterima hoaks, katanya, setop jangan disebarkan.

Baca juga:

Ada berita tak benar, katanya, tetap melintas di lini masa. Bahkan warganet ikut mendistribusikan berita yang tak benar atau hoaks. “Bagaimana generasi ke depan jika setiap hari diasup setiap saat,” ujarnya.

Peserta dilatih dua trainer tersertifikasi Google, akademikus Lilik Dwi Mardjianto dan jurnalis Inggried Dwi Wedhaswary. Inggried menyebutkan hoaks berseliweran karena tingkat literasi rendah. Indonesia menempati urutan ke 60 dari 61 negara. Sedangkan pengguna media sosial menempati urutan kelima.

“Kemampuan mengolah informasi rendah,” katanya. Sehingga mudah menyebarkan hoaks. Tanpa melakukan cek ulang dan verifikasi.

Lilik Dwi Mardjianto menjelaskan jika internet merupakan belantara. Jika tak memahami literasi digital sama dengan orang tersesat di belantara tak punya kompas. “Kita tak tahu arah. Bisa ikut terlibat menyebarkan hoaks,” kata Lilik.

Ia menunjukkan informasi miss informasi dan disinformasi. Disinformasi motif awalnya untuk sekedar lucu-lucuan, mencari sensai dan mencari keuntungan.

“Disinformasi sengaja menyebarkan hoaks karena ada maksud tertentu,” ujarnya.

Kehati-hatian perlu dikedepankan agar kita tidak turut menyebarkan hoaks. Bahkan orang sekelas menteri saja bisa terpeleset. Mantan Menteri Informatika dan Komunikasi Tifatul Sembiring pernah keliru “turut menyebarkan” hoaks.

Awalnya, Tifatul bermaksud menunjukkan kepada netizen ihwal pembantaian etnis muslim Rohingya melalui foto tersebut. Namun, ternyata foto tersebut bukan menggambarkan pembantaian etnis muslim Rohingya, melainkan peristiwa Tak Bai di Thailand yang telah berlangsung pada tahun 2004 silam.
Para peserta dilatih menelusuri berita dan mengecek kebenarannya. Selain itu juga menelusuri foto dan video menggunakan beragam tools. Peserta juga diingatkan pentingnya keamanan dan kebersihan digital. Agar tak mudah data pribadi diretas dan dipindai secara digital. (AN)