Banyuwangi, SonaIndonesia.com – Ada kabar gembira bagi para pecinta buku dan pelajar di Banyuwangi. Apakah itu? Ya, Banyuwangi Book Fair 2022. Acara yang digelar di Gedung Juang 1945 itu, berlangsung mulai tanggal 6 hingga 15 Oktober 2022.
Ribuan judul buku dari berbagai kajian akan dipamerkan oleh sejumlah penerbit baik lokal maupun nasional. Mulai dari buku sastra, anak-anak, sosial-politik, agama, soft skill dan lain-lain.
Kegiatan ini mendapat apresiasi Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani. Menurutnya, kegiatan tersebut dapat mendorong masyarakat Banyuwangi untuk meningkatkan literasinya.
“Dengan membaca buku, akan meningkatkan wawasan sekaligus kapasitas kita. Jadi, acara book fair ini sangat penting untuk meningkatkan literasi kita,” ujar Ipuk.
Kesadaran literatif itulah yang ditegaskan oleh Kepala Dinas Pendidikan Banyuwangi Suratno sebagai landasan untuk membangun karakter masyarakat.
“Saat ini ada 4C untuk bisa membentuk masyarakat yang unggul. Di antaranya adalah masyarakat yang memiliki critical thinking, communicative, collaboration dan creative. Ini semua bisa terwujud jika dilandasi dengan kesadaran literasi,” jelasnya saat pembukaan book fair, Kamis (6/10/2022).
Kegiatan book fair sendiri tak hanya menyajikan bazar buku, namun juga ada serangkaian diskusi dan bedah buku karya para penulis Banyuwangi di setiap harinya.
“Acara diskusinya dimulai setiap pukul 14.00 WIB dan terbuka untuk umum,” ungkap ketua panitia book fair Ayung Notonegoro.
Sebagai pembuka acara dihelat diskusi “Tribute to Armaya & Hasnan Singodimayan”, untuk mengenang dua orang begawan sastra Banyuwangi. Diskusi yang dipandu oleh Samsudin Adlawi ini menghadirkan sastrawan dan budayawan Banyuwangi, di antaranya Ketua Dewan Kesenian Blambangan Hasan Basri, Abdullah Fauzi, Fatah Yasin Noor, dan Taufiq Wr Hidayat.
“Dua tokoh ini, merupakan sosok yang memiliki kiprah luar biasa dalam dunia sastra, budaya dan kesenian Banyuwangi,” ungkap Samsudin Adlawi saat membuka sesi diskusi.
Sementara menurut Abdullah Fauzi, sosok Armaya dan Hasnan ini sejatinya merupakan dua kutub magnet yang berlawanan. Akan tetapi, akibat tegangan itulah, justru merangsang lahirnya sastrawan dan penulis muda Banyuwangi yang menjadi didikan keduanya.
“Saya dan kawan-kawan yang ada di sini lahir dari gesekan dua tokoh ini,” ujarnya.
Armaya sendiri lahir di Banyuwangi pada 10 Juni 1930. Setelah menuntaskan pendidikan dasarnya di Banyuwangi, ia melanjutkan sekolah ke SMA Santo Yosep Solo. Di sana, ia akrab berkawan dengan WS Rendra. Selanjutnya hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Indonesia. Pergaulan selama di Solo dan Jakarta ini mengantarkannya menekuni dunia kepenulisan dan sastra.
“Pada tahun 1980-an beliau pulang ke Banyuwangi dan merintis Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) yang menjadi wadah kreasinya,” ungkap Fatah Yasin Noor.
“Di PSBB ini, tidak kurang ada 500 judul buku dan edisi jurnal yang telah beliau terbitkan dengan modal nyaris ditanggung secara pribadi,” imbuh Taufiq Wr Hidayat.
Sementara itu, Hasan Basri mengenang Hasnan Singodimayan sebagai sosok yang sangat dedikatif terhadap pengembangan kebudayaan Banyuwangi.
“Beliau itu santri tulen alumni Gontor. Hal inilah yang mewarnai karya-karyanya. Bagaimana beliau mencoba mempertemukan nilai-nilai kebudayaan dan keislaman,” ungkapnya.
Hasnan Singodimayan lahir di Banyuwangi pada 17 Oktober 1931. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Pondok Pesantren Modern Gontor (1955), ia terjun di dunia jurnalistik dan kesustraaan di Surabaya. Atas dedikasinya itu berbagai penghargaan ia dapatkan. Di antaranya, dari Pemerintah Kabupaten, Gubernur Jawa Timur hingga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (ful)